Kamis, 25 Desember 2014

Stand By Me Doraemon

 Sutradara: Takashi Yamazaki& Ryuichi Yagi, 2014

Film ini dibuka dengan beberapa kebiasaan buruk Nobita dari dihukum di luar kelas karena terlambat masuk sekolah sampai hasil studi dan olahraga tidak ada yang memuaskan. Melihat hal itu Sewashi, cicit Nobita dari abad ke-22 berkunjung ke rumah kakek buyutnya,Nobita dalam upaya untuk mengubah masa depan. Salah satu caranya adalah dengan mencegah pernikahan Nobita dengan Jaiko (=adik Gian) karena pernikahan mereka berdua ternyata berakhir dengan krisis keuangan. Dan, untuk mencapai misi ini Sewashi mendorong Doraemon untuk membuat Nobita mendapatkan kebahagiaan dan supaya Doraemon tetap memegang janji tersebut Sewashi memasang alat yang mencegah Doraemon untuk kembali ke masa depan sebelum tercapai tujuannya. Dan sejak saat itu, kisah perjalanan mereka berdua dimulai. Doraemon tinggal bersama Nobita, membantu dia dengan alat-alat dari kantong ajaib sampai Nobita merasa bahagia.

Seperti kebanyakan film animasi yang lebih diperuntukkan untuk anak-anak kecil maka alur ceritanya sendiri sangat sederhana tetapi tetap menghibur. Kisahnya pun disampaikan dengan cara yang easyly dan dibawa begitu enjoy-nya. Ada banyak adegan lucu saat melibatkan kejenakaan Nobita yang tentu membuat penonton tertawa tapi inti dari seluruh film ini adalah momen-momen emosional antara Nobita dengan teman di sekelilingnya. Penulis sendiri ketika menonton film sedih jarang menitikkan air mata dan jujur harus mengatakan bahwa ada banyak momen dalam film yang akan membuat mata Anda lembab. Ditambah dengan saat-saat komedi, ada beberapa kali di mana menemukan diri kita baik tertawa dan menangis pada saat bersamaan. Ini salah satu film down to earth yang penuh dengan kenangan masa kecil, karena menonton karakter tokoh-tokohnya di film Stand By Me Doraemon seakan menjadi kilas balik atas gambaran diri kita waktu masih kecil dan nakal-nakalnya. Film ini tentu saja penuh dengan nostalgia, menangkap peristiwa kehidupan Nobita sampai ke masa dewasanya bahwa ia segera menikah, sementara berusaha untuk tidak terdengar terlalu cheesy dan klise.

Tema film ini menggambarkan upaya Nobita untuk mengatasi semua kelemahannya sendiri untuk mencapai kebahagiaan. Adegan dimana dia menantang Gian untuk bertarung satu lawan satu seraya memberikan bukti bahwa tanpa kehadiran Doraemon yang selama ini memberikan rasa nyaman padanya, ia putuskan tak meminta pertolongan Doraemon. Jika Anda sudah familiar dengan cerita-cerita Doraemon di masa-masa kecil kita baik demi nostalgia, ataupun untuk ditonton bersama dengan orang-orang tersayang ataupun dengan keluarga, penulis sarankan untuk menonton film ini. Pada akhirnya kita akan mengetahui mengapa film ini sukses setelah menonton dan membuktikan sendiri.

Sebagai catatan tambahan:
1. Stand By Me Doraemon dibuat untuk merayakan ulang tahun ke-80 dari (almarhum) Fujiko F. Fujio , dan telah ditayangkan di Jepang tanggal 8 Agustus 2014. 
2. Lagu tema yang menjadi lagu penutup Stand By Me berjudul "Himawari no Yakusoku" dinyanyikan oleh Motohiro Hata. 
3. Selama post credit scene berjalan, tim film menunjukkan beberapa bloopers lucu untuk membuat penonton tertawa.

 
 

Rabu, 24 Desember 2014

The Hobbit: The Battle of the Five Armies

 Sutradara: Peter Jackson, 2014

Pada tahun 2001, sutradara Peter Jackson mulai mengadaptasi novel pertama "The Lord of the Rings: The Fellowship of the Ring" hingga ketiga novel yang dikenal secara luas sebagai Trilogi The Lord of the Rings ke layar lebar. Sekarang, 13 tahun kemudian, ia akan segera mengakhiri petualangan Bilbo Baggins salah satu penghuni Middle Earth yang semakin dekat dengan pertempuran epik yang menjadi inti cerita "The Hobbit: The Battle of The Five Armies".
 

Seri ketiga sekaligus penutup dari novel The Hobbit melanjutkan akhir dari seri kedua tahun lalu dimana Bilbo Baggins (Martin Freeman) dan kawanan kurcaci mendekati akhir misi mereka yakni untuk merebut kembali Erebor -Kerajaan Kurcaci- dan menempatkan Thorin Oakenshield (Richard Armitage) di atas takhta sebagai Raja mereka. Setelah Bard the Bowman (Luke Evans) membunuh naga Smaug (disuarakan oleh Benedict Cumberbatch), seolah-olah cerita selesai dimanaThorin akhirnya dapat mengambil apa yang dulu menjadi haknya. Tapi begitu kematian Smaug menyebar, sejumlah tentara manusia, peri dan kurcaci dan Orc datang bersama-sama untuk berperang melawan satu sama lain merebut juga kekayaan yang terdapat di Gunung Sunyi ini.

Sejak menit pertama film ini menyajikan adegan penuh aksi perang dan perang hingga menjelang klimaksnya namun dibeberapa bagian cerita diselingi oleh melodrama dengan tujuan membuat film ini tidak jenuh bagi para penonton. Pertempuran terakhir dimulai pada catatan yang menjanjikan kemudian perlahan-lahan menciptakan medan pertempuran yang makin meluas dan mengikuti sekelompok karakter ke lokasi yang berbeda menciptakan beberapa drama emosional untuk memberikan karakter-karakter yang lebih "berat". Ya, menjadi ciri khas Jackson adalah selalu membawa penonton kembali menuju ke tengah-tengah pertempuran, memberikan kita serangkaian perang antar individu yang pada akhirnya jauh lebih menarik dan menegangkan. Pastinya.

Walau dalam novel The Hobbit Thorin Oakenshield berperan sebagai pemimpin para kurcaci dan penampilannya di layar lebar harus berbagi dengan tokoh utama si Bilbo Baggins dan tokoh karakter penting lainnya, tapi bisa dibilang karakternya disini memegang peranan penting terutama seri terakhir ini. Akibat obsesi berlebihan akan emas di tangannya, dirinya tidak melihat bahkan peduli bahwa hati dan jiwanya tidak seperti yang dulu lagi. Richard Armitage (2014, Into The Storm) adalah aktor yang tepat memerankan peran Thorin, bagaimana ada pergulatan batin dan perjuangan diri melawan kekuatan pikiran jahat. Sebagai tentara peri Tauriel dan Legolas, Evangeline Lilly (serial TV Lost) dan Orlando Bloom ( Pirates of the Caribbean Trilogy) secara fisik lebih banyak melakukan adegan perkelahian satu lawan satu sampai mati. Seperti yang kita ketahui Tauriel adalah tokoh tambahan yang tidak ada dalam novel Tolkien dan perannya sendiri tidak memegang karakter penting tetapi oleh Peter Jackson model peran perempuan-selain Lady Galadriel tentunya- patut diperhitungkan.

Apa yang membuat penulis kagum dengan film trilogi Lord Of The Rings demikian juga pada trilogi The Hobbit. Adalah kemampuan memvisualisasikan karya JRR Tolkien yang rasanya sulit untuk di-filmkan tetapi hasil akhirnya begitu nyata dan hidup. Dengan The Battle of the Five Armies, Peter Jackson telah menciptakan sebuah karya yang sangat ringkas dan padat. Sekitar dua puluh menit lebih pendek dari dua film sebelumnya, fitur ketiga The Hobbit adalah bab yang paling menarik. Meskipun belum dapat melampaui kemegahan The Return of The King, namun masih tetap salah satu sebuah final epik . Dengan pertempuran berjalan selama hampir seluruh film, kali ini jauh lebih banyak aksi. Sebagai penutup, The Battle of the Five Armies merupakan bagian yang tepat dan sesuai dengan yang Jackson janjikan bahwa ia tidak akan membuang-buang waktu penontonnya dengan apa yang seharusnya diadaptasi ke layar lebar menjadi dua bagian dari The Hobbit (seperti terbitan novel aslinya "There and Back Again" tahun 1937) menjadi lebih menguntungkan ketika dibagi menjadi tiga bagian, dengan memunculkan lebih banyak karakter yang diambil dari lampiran yang luas karya J.R.R Tolkien ini.




Sabtu, 13 Desember 2014

Exodus: Gods and Kings

Sutradara: Ridley Scott, 2014


Di tahun 2014 ini tercatat ada 2 (dua) film yang mengangkat kisah/cerita seorang nabi dalam Kitab Perjanjian Lama. Setelah Darren Aronofsky dari Kitab Kejadian menghadirkan Nabi Nuh (Noah), di penghujung tahun ini Ridley Scott dari Kitab Keluaran mengisahkan kembali kisah Nabi Musa dalam filmnya "Exodus: Gods and Kings" yang boleh dibilang adalah versi teranyar dari karya Cecil B. DeMille "The Ten Commandments (1956)". Tema film ini menceritakan sebuah cerita yang sangat klise pengkhianatan persaudaraan dan persaingan, salah satu dari mereka telah kita lihat/ dengar beberapa kali sebelumnya, yang membedakan hanya lokasi dan siapa karakter didalamnya.

Exodus: Gods and Kings adalah kisah ulang tentang seseorang sebelum menjadi pembela 10 (sepuluh) Hukum Taurat. Dia adalah Musa. Kisah perjalanannya dimulai ketika menjabat sebagai Pangeran dari Mesir namun karena perintah Tuhan ,dirinya menjadi Pembebas kaum Yahudi menuju Kanaan,Tanah Perjanjian, atas perbudakan saudaranya Ramses, seorang Firaun Mesir selama 400 tahun lamanya. Melewatkan banyak arak-arakan terkait dengan legendanya, film dibuka pada Musa (Bale) sebagaimana telah menjadi pria dewasa. Dia adalah sepupu sekaligus saudara pewaris Rhamses (Joel Edgerton), yang notabene adalah anak yang disukai ayah Rhamses, Firaun Seti (John Turturro). Dengan demikian jelas terjadi perubahan besar pada Musa jauh sebelum dirinya menjadi seorang budak Ibrani yang terhindar nasib mengerikan ketika ibu dan adiknya menempatkannya di keranjang di sungai. Film ini juga menceritakan bagaimana kisah malapetaka mematikan yang melanda Mesir selama periode tersebut yang kita kenal dengan 10 (sepuluh) Tulah.

Pengambilan momen akhir pengejaran yang terjadi di Laut Merah adalah salah satu adegan memorable. Meskipun The Ten Commandments memenangkan Oscar untuk kategori efek visual, terbelahnya Laut Merah dalam film DeMille terlihat kurang sempurna-ini sebenarnya bisa kita maklumi. Scott lalu menyempurnakannya dengan penggambaran lebih epik bagaimana Israel berhasil menyeberangi laut sebelum menenggelamkam pasukan Mesir. Adegan ini sungguh mendebarkan. Film ini tidak berakhir sampai disana, oleh Scott bersama penulis menambahkan beberapa bagian setelah momen diatas kedalam cerita yang mana merupakan bagian integral dari Kitab Keluaran.

Sutradara kawakan Ridley Scott tampaknya telah mengikuti perkembangan terbaru dalam hal teknik pembuatan sebuah film modern/jaman sekarang, seperti terlihat dari kedua film terbarunya Exodus:Gods and Kings dan Prometheus(2012). Namun dalam perjalanan, Scott tampaknya telah kehilangan sentuhan "magis"-nya, yang dulunya menjadikan dirinya seseorang yang paling dicari selain tentunya seorang sutradara di perfilman Hollywood. Layaknya dalam Kitab Keluaran, ia tampaknya disamping terlalu terobsesi dengan kemegahan/keindahan visual jaman itu, terlihat juga  dengan durasi 2 jam 30 menit hampir separuhnya dipakai untuk menceritakan konflik pribadi antara Musa dengan Ramses, padahal penonton tak sabar menanti kapan adegan klimaknya. 

Dengan latar belakang yang memukau dari Mesir, referensi Alkitab kuno dan kisah menarik dari persaingan, ambisi dan pengkhianatan. Sebuah skenario yang luar biasa mengintegrasikan unsur-unsur dramatis, yang digambarkan dengan kemegahan teatrikal, sementara tetap mempertahankan rasa perjalanan seorang figur yang memberi inspirasi manusia sampai detik ini dalam proses pencarian dan pembentukan iman. Aspek agama yang disampaikan dengan kesungguhan totalitas seolah-olah mem-visualisasikan bagian dari cerita anak yang waktu kecil pernah kita dengar dari Sekolah Minggu.


Minggu, 07 Desember 2014

The Pyramid

Sutradara: Gregory Levasseur, 2014

Adalah seorang ayah dan putrinya yang keduanya sama-sama berprofesi sebagai arkeolog, Holden (Denis O'Hare) dan Nora (Ashley Hinshaw), menemukan sebuah piramida yang terkubur di bawah gurun. Strukturnya sendiri tidak seperti yang selama ini kita ketahui - piramida ini memiliki tiga sisi bukannya empat sisi, dari sini menunjukkan bahwa ada sesuatu yang istimewa pada piramida ini. Selama penggalian beberapa waktu akhirnya pintu masuk ditemukan. Untuk merekam/ mengabadikan penemuan bersejarah ini duo arkeolog ini ditemani oleh Sunni (Christa Nicola), seorang wartawan Amerika dengan juru kameranya, Fitzie (James Buckley). Plus seorang IT robot dari warga lokal, Zahir (Amir K). Dia bertanggung jawab atas "Shorty," sebuah robot unik yang sepintas mengingatkan kita pada karakter animasi Wall-E produksi Pixar

Satu lagi film bergenre found-footage yang bertujuan membuat penontonnya melihat kejadian sebenarnya dan memang benar diawal film saja kita melihat teks "ini adalah sebuah rekaman film dokumenter di Kairo tahun 2013". Sepertinya konsep pakem dari sebuah film bergenre ini yakni dimulai rasa penasaran terhadap sesuatu yang baru, menyelidiki lalu terperangkap di dalamnya, saling menyalahkan antar teman dan akhirnya ada karakter dimatikan. Dan, seperti itulah The Pyramid membangun dasar dimulai dari satu kejadian "Shorty" yang Zahir pinjam dari NASA senilai $3 juta hilang kontak saat mengambil gambar didalam piramida tersebut. Daripada mengganti kerugian, mereka berlima memutuskan masuk ke dalamnya tanpa tahu ada sesuatu yang mengintai.  

Levasseur tahu betul bagaimana memberikan gambaran sebanyak mungkin pada setiap sudut kegelapan di dalam sebuah piramida. Ketakutan penonton berawal dari sudut pandang kamera orang pertama selain rasa penasaran apakah "sesuatu" itu ditahan hingga dipenghujung cerita. Namun sayangnya ada kelemahan dalam film ini, penonton gampang menebak adegan-adegan memorable dalam film terkenal.  Kematian pertama pada salah satu karakter mengejutkan dan mengerikan ala film Alien, kemudian dilanjutkan pengambilan adegan retaknya dasar tanah sampai berlari cepat melewati lorong panjang dengan pasir yang mengalir dari dinding ala film National Treasure atau The Mummy

Sebuah tim arkeolog turun ke dalam sebuah makam Mesir terkutuk bukanlah ide baru untuk ukuran film horor. Oleh sutradara Gregory Levasseur, yang lebih dikenal sebagai penulis High Tension dan Piranha 3-D, segala usaha maksimal yang sudah dilakukannya menjadikan The Pyramid adalah ide baru dengan segala kelebihan dari pendahulunya terbilang kurang berhasil. Jika kalian sedang "mencari' ketakutan  dan memiliki waktu 90 menit untuk "enjoy" didalamnya, mungkin bisa mencari yang lebih baik daripada The Pyramid. Tapi ini tidak terlalu buruk.





Selasa, 02 Desember 2014

Housebound

 Sutradara: Gerard Johnstone, 2014


Apa yang terjadi jika sebuah film horor tetapi didalamnya bercampur dengan komedi, terdengar asing namun tampaknya merupakan sesuatu yang baru- walau tetap aneh,bukan. Sebenarnya kalau mau dilihat jauh kebelakang hal ini sudah terjadi beberapa tahun lalu. Contohnya film Shaun of the Dead tahun 2004 membuat penonton kala itu terkesima. Para pembuat film Hollywood tampaknya kurang mengeksplor bagaimana untuk mencapai keseimbangan yang tepat antara dua genre tanpa ada satu yang kuat tapi satunya lemah. Sering kali, horor mudah ditebak, komedinya membosankan/ tidak lucu, atau malah keduanya. Namun, penulis / sutradara Gerard Johnstone asal Selandia Baru mengambil peluang yang sangat jarang ini sembari menjawab "Apakah pada akhirnya usahanya ini sukses dan menuai pujian." 

Adalah Kylie (Morgana O'Reilly) bersama seorang teman prianya mencoba untuk membobol mesin ATM dengan palu dan bahan peledak. Percobaan pertama kalinya ini tidak berhasil karena tertangkap saat hendak meninggalkan lokasi. Dia dijatuhi hukuman oleh hakim tinggal di rumah masa kecilnya sampai delapan bulan dengan ibunya, Miriam (Rima Te Wiata), yang bagi Kylie ini bisa dibilang lebih buruk daripada penjara. Dengan ditambahi pemasangan monitor pada pergelangan kaki memastikan bahwa Kylie tidak bisa melarikan diri lebih dari beberapa meter dari rumahnya. Tapi itu juga berarti bahwa ketika dia mendengar suara-suara aneh di malam hari dan atau melihat sekelebat penampakan menakutkan di dalam basement-walau ibunya yang tinggal lama mengakui rumah itu berhantu-dia tidak bisa lari ketakutan. Satu-satunya hiburannya yakni Amos (Glen-Paul Waru), petugas keamanan yang memonitor perangkatnya yang notabene juga seorang paranormal penyelidik amatir dan sangat tertarik untuk menyelidiki apa sebenarnya yang terjadi dirumah ini sebelum ditinggali Miriam

Dengan durasi kurang lebih satu jam setengah, Housebound memanfaatkan banyak plot yang begitu familiar. Mulai kenangan buruk yang telah terjadi di masa lalu, oleh Johnstone teknik ini dimanfaatkan sebagai cara untuk menakut-nakuti penonton dan disaat bersamaan membuat penontonnya tertawa. Sayangnya, tidak semuanya berhasil. Sejumlah besar leluconnya datar, membuat film ini terkesan lamban. Namun, dengan cepat kembali, dan bergerak maju. Sedangkan paruh kedua waktu berjalan masih ada sedikit unsur komedi, namun lebih menitikberatkan pada genre horor. Ada beberapa sensasi yang benar-benar cukup mengejutkan, menciptakan sejumlah ketegangan dengan menjaga rahasia fenomena makluk halus. Sampai disini penonton belum cukup yakin apa yang penonton percaya, sekali lagi oleh Johnstone semua kepingan-kepingan pertanyaan disatukan di akhir cerita. Tidak familiar.

Housebound memiliki semua ciri dari sebuah film horor tradisional: hal-hal aneh selalu terjadi di malam hari, boneka menakutkan, suara-suara dari kejauhan, rumah menyeramkan dengan masa lalu samar sudah sanggup membuat penonton ketakutan. Diakui dalam debut filmnya ini (yang juga merangkap menjadi penulis naskah), terbilang sukses menangani semua poin horor dengan baik, dan memiliki banyak bersenang-senang dalam menciptakan satu atau dua ketegangan hampir tak terduga. Housebound bekerja dengan berada pada jalur berbeda. Humor Johnstone sendiri tampaknya datang dari rasa akut absurd, dan mempertahankan nada dari kedua horor dan ya, absurditas adalah salah satu prestasi utamanya. Housebound adalah debut yang sangat percaya diri dan menjanjikan.


Minggu, 30 November 2014

Exists

 Sutradara: Eduardo Sanchez, 2014

Seperti kebanyakan film dokumenter biasanya diawali dengan perjalanan. Tiga jejaka muda, Brian (Chris Osborn), Todd (Roger Edwards), dan Matt (Samuel Davis), bersama dengan teman-teman wanita mereka Elizabeth (Denise Williamson) dan Dora (Dora Madison Burge) menuju pedalaman hutan Texas dimana mereka akan menikmati liburan dalam kabin di dalam hutan ini. Adalah salah satu dari mereka, Brian adalah penggemar YouTube jadi kemanapun berada selalu membawa koleksi kamera video untuk mendokumentasikan setiap momen dalam perjalanan. Masalah dimulai ketika saat mengemudi dimalam hari mobil mereka menghantam sesuatu yang diduga adalah binatang, tetapi hasil rekaman Brian tampak itu bukanlah binatang pada umumnya.  

Eduardo Sánchez bukan nama sutradara baru dengan film-film bertema found-footage, sebagai pengingat ia yang menyutradarai salah satu film fenomenal tahun 1999, The Blair Witch Project. Dengan bekal itu, ia masih terbukti bisa menyulap suasana tegang menggunakan suara-suara menakutkan serta bayangan siluet. Tokoh utama memutar ulang rekaman kejadian sembari berkata "Lihat! Di sana! Apakah itu yang bergerak di ujung sana? "Beberapa penonton tidak diragukan lagi akan tutup mata telinga untuk mengantisipasi berbagai efek kejutan yang telah disiapkan oleh Sánchez. Kadang-kadang hanyalah canda gurau antara Brian dengan kawan-kawannya tetapi di saat tak terduga itu adalah Sasquatch sendiri, melemparkan beberapa raungan menakutkan di tengah malam.  

Disisi lain pasca The Blair Witch Project, Sanchez sendiri masih berkiprah dari genre film kegemarannya ini. Semisal menjabat sebagai co-director seri mockumenter "ParaAbnormal" (dengan Nash) dan segmen zombie sepeda-helm-cam di "S-VHS" (dengan Gregg Hale). Exists sendiri yang notabene merupakan film panjang keduanya sayangnya kurang menggali lebih banyak hal fundamental tentang found-footage alias belum bisa menyamai dari film pertamanya. Penonton hanya melihat seperti yang Brian lihat  membawa kamera di setiap sudut (termasuk sepeda dan helm) untuk mendapatkan berbagai gambaran pada setiap perselisihan, pertikaian dan kematian, bahkan mengapa teman-temannya tidak memberitahu dia untuk berhenti merekam ketika hal-hal aneh terjadi dan membantu mereka untuk bertahan hidup.  

Sejumlah film menggunakan monster sebagai metafora untuk penyakit yang lebih menakutkan, namun Exists salah satu karya terbaik ketika yang lebih menakutkan tadi ditampilkan melalui sudut pandang orang pertama via kamera GoPro. Meskipun menempatkan kamera amatir, ada dua urutan ketegangan dilakukan dengan baik. Pertama: yang melibatkan ruang bawah tanah (mengingatkan salah satu adegan di film The Evil Dead), yang kedua adalah ketika mobil RV akan dijatuhkan ke jurang (mengingatkan salah satu adegan di film Jurassic Park: The Lost World). Dengan durasi 80 menit, Sánchez masih mendapatkan kredit karena tidak membuang terlalu banyak waktu bagi penonton yang menonton filmnya ini.

Selasa, 25 November 2014

Horns

Sutradara: Alexandre Aja, 2014


Horns diadaptasi dari novel dengan judul yang sama tahun 2010 oleh Joe Hill, putra Stephen King. Dibintangi Daniel Radcliffe (Harry Potter Saga, The Woman In Black) sebagai Ignatius Perrish (panggilan: Ig), yang menjadi sorotan media massa dari kota kecil tempat tinggalnya ketika pacarnya Merrin  diperankan oleh Juno Temple( Sin City: A Dame to Kill For) ditemukan terbunuh dan dia adalah tersangka utamanya. Tidak lama kemudian, tanduk setan mulai tumbuh dari kepalanya. Pernah sekali waktu tanduk yang masih kecil berusaha dia potong lewat bantuan dokter. Namun apa yang dia ketahui bahwa tanduk yang tumbuh dikepalanya ini bukan bencana melainkan berkat. Tanduk ini memberinya semacam kekuatan paranormal memungkinkan orang-orang yang memandangnya untuk berperilaku dan mengatakan apa yang dipikirkan dan rasakan, termasuk mencari penyebab kematian Merrin, sekaligus membalas dendam pada pelakunya.

Disajikan melalui alur maju mundur antara saat-saat dimana Ig dimasa kini mencari siapa pembunuh pacarnya dengan saat-saat awal hubungan Ig dan Merrin. Transisi dari kedua "nada" yang berbeda sangat penting untuk menerjemahkan adaptasi novel ini yang mana sering beralih dari romantis kemudian kembali ke serius. Namun sayangnya ditangan sutradara Alexandre Aja yang unggul di tema horor berdarah-darah (High Tension, The Hill Have Eyes dan Piranha 3-D) akhirnya membuat Horns melempem tidak maksimal. Horns bukan film tentang gore. Selama hampir dua jam, Horns berjalan terlalu lama dengan segala inkonsisten ceritanya. Satu-satunya penyelamatnya ada nama Daniel Radcliffe yang mana di film ini dirinya telah meyakinkan semua penonton bahwa dia bukanlah "orang yang dipilih lagi".

Baik versi novel dan film sama-sama memiliki gagasan sederhana tentang yang baik dan jahat serta tidak menguraikan cerita detektif yang sulit dipahami, ya ini seperti gambaran Hill pada masing- masing karakter tokohnya ada 'keinginan dan kelemahan", namun ada beberapa perkecualian. Dalam novel, seorang pelayan digambarkan sebagai saksi mata saja, namun oleh Aja digambarkan sebagai seorang pelayan yang ingin terkenal masuk TV. Lebih buruk lagi, Ig dan Merrin yang didalam novel digambarkan sebagai sepasang kekasih yang baik-baik, sedangkan di versi filmnya Merrin digambarkan tidak lebih dari wanita jalang dengan salib di lehernya.

Namun demikian, kalau kalian mengharapkan unsur misteri daripada thriller balas dendam, maka si pelaku pembunuhan yang terungkap di akhir cerita tidak akan terlalu mengejutkan, yang membuat kekecewaan. Meskipun sebaik-baiknya karakter yang coba diperankan oleh aktor/aktris didalamnya, karakter protagonis maupun antagonisnya toh Horns akhirnya tidak sanggup "menandukmu".


Minggu, 23 November 2014

The Hunger Games: Mockingjay Part 1

Sutradara: Francis Lawrence, 2014

Menerjemahkan buku/novel bacaan remaja belasan tahun yang dikenal dengan sebutan YA (Young Adult) ke layar lebar sudah pasti memiliki taruhan besar dalam ruang lingkup meraih keuntungan box office. Selama beberapa tahun terakhir ini terasa sangat sulit bagi setiap novel YA yang sudah difilmkan sanggup menyaingi franchise Harry Potter. Dengan target audience lebih dewasa serta tema yang diusung mengenai politik yang berskenario gelap telah terbukti menjadi kekuatan yang layak diperhitungkan. Itulah konsep yang dibawa Suzanne Collins dalam novel karangannya yang diterbitkan tahun 2008. Seri pertama franchise The Hunger Games kurang emosional yang kemudian terobati di sekuelnya Catching Fire. Mengikuti jejak franchise Harry Potter dan Twilight Saga, novel terakhir ini pun dibagi menjadi dua film yang kayaknya sudah menjadi populer dalam adaptasi YA.

The Hunger Games: Mockingjay - Part I dibuka dengan Katniss Everdeen (Jennifer Lawrence) dibawa ke kamp bawah tanah rahasia di Distrik 13, setelah sebelumnya dirinya diselamatkan oleh kaum pemberontak/ pejuang kemerdekaan  pada akhir pertandingan keduanya, Catching Fire. Mencari seorang juru bicara untuk memimpin pemberontakan mereka melawan penindas mereka, Presiden Coin (Julianne Moore) dan pemimpin pemberontakan Plutarch Heavensbee (Philip Seymour Hoffman) berupaya meyakinkan Katniss menjadi "The Mockingjay", yang memungkinkan dirinya menjadi simbol revolusi untuk mengumpulkan sisa-sisa distrik yang masih ada melawan Capitol dalam pertarungan akhir. Pada skala yang lebih kecil, Katniss bertekad untuk menyelamatkan Peeta dari cengkeraman Presiden Snow (Donald Sutherland), yang mengumumkan satu pernyataan tegas bahwa "semua yang berkaitan dengan "Mockingjay" dilarang".

Jika kalian menonton The Hunger Games: Mockingjay - Part I berharap menyaksikan adegan aksi, kalian akan kecewa melihat drastisnya pada poin aksinya. Seri pertama berikut sekuelnya masih dalam konteks arena permainan mematikan, penonton disuguhi banyak pertarungan demi mempertahankan nyawa pribadi dan atau kelompoknya. Namun, seri ketiga ini lebih banyak mengarah ke politik pemberontakan, sehingga adegan aksi disini kurang banyak "berbicara". Ini semua jelas ditahan untuk bagian akhir dari seri. Untungnya, ada unsur komedi pada karakter Effie Trinket (Elizabeth Banks) terbukti menjadi salah satu penghilang kepenatan menonton film ini. Peter Craig dan Danny Strong yang menjabat sebagai penulis skenario berhasil memberikan guyonan yang terasa alami, sebagai Effie berjuang untuk menyesuaikan diri dengan gaya hidup baru tanpa make-up berlebihan, rambut palsu dan gaun norak. Bagi penggemar TV Series penampilan si Margaery Tyrell dalam Game of Thrones dan si T-Bag dalam Prison Break pastinya merasakan nostalgia  ketika menonton kedua serial TV yang mereka berdua perankan. 

Mengutip salah satu dialog terpenting yang diucapkan Katniss "..I have a message for President Snow: If we burn, you burn with us! " bagian pertama ini menjadi pertanda bahwa di bagian keduanya nanti lebih berapi-api. Ya, penonton dibuat semakin greget bagaimana akhir dari pembalasan dendam yang dilakukan Katnis dkk akan setimpal dengan Capitol lakukan pada mereka. Sebelum sampai ke sana silakan nikmati dulu suara seksi JLaw dalam membawakan satu lagu "The Hanging Tree" serta tentunya bagaimana rapinya Francis Lawrence membangun pondasinya mengobarkan semangat pengikut Katniss Everdeen dengan semboyan "Join The Mockingjay. Join The Fight".



Rabu, 19 November 2014

The Babadook

 Sutradara Jennifer Kent, 2014


Dibuka dengan adegan kecelakaan mobil yang melibatkan sepasang suami istri- Amelia dan suaminya-, dimana saat itu mereka berdua sedang dalam perjalanan ke rumah sakit untuk melahirkan anak pertama mereka. Naasnya insiden ini memakan korban jiwa yakni suami Amelia. Lompat 6 (enam) tahun diceritakan Amelia hidup sebagai single mother dengan putranya,Samuel. Sebelum tidur menjadi kebiasan Samuel minta dibacakan buku dongeng anak-anak. Dan, disuatu malam yang berbeda dengan malam-malam sebelumnya sebuah buku dongeng berjudul “The Babadook” dibacakan oleh Amelia atas keinginan Samuel. Adalah sebuah dongeng horor dengan pop up art yang semakin memperlihatkan kengerian cerita. Ketakutan segera dimulai. 

Bagi yang mengharapkan The Babadook menawarkan efek jump scare mungkin akan kecewa, karena film ini menghabiskan sebagian besar durasinya 94 menit ini untuk menunjukkan kepada penonton bagaimana sulitnya seorang single mother mau tidak mau harus mengurusi/menangani putranya-yang mempunyai karakter hiperaktif- seorang diri. Seperti ibu lainnya Amelia tentu saja mencintai Samuel, tapi disisi lain tampak juga ada rasa kebencian mendalam pada putranya ini. Hubungan yang tidak erat ini malah diperumit dengan kehadiran sosok Mr. Babadook. Suatu misteri besar apakah Mr. Babadook ini- yang sebelumnya hanya ada di buku dongeng tadi itu- memang nyata adanya ataukah muncul karena rekaan ibu dan anak ini. Ya, itu dimungkinkan. Samuel seorang anak kecil yang terkadang punya "teman" bermain sementara Amelia diakibatkan terlalu banyak pikiran serta kurang tidur.

Sebagai tipikal film indie berbiaya rendah, film ini menggunakan sedikit pemain, setting yang sebagian besar di dalam rumah, dan alur lambat yang dibangun dari kepingan kejadian sehari-hari. Sebagai pengganti efek ketakutan penonton akan efek jump scare-nya Kent menciptakan horror dimata penonton melalui sudut- sudut gelap serta tone warna yang suram ditambah nuansa thriller yang tak menjemukan.Ini poin plus menarik sebuah film horror di sepanjang filmnya, editing-nya hidup hingga penonton merasakan kengerian yang sama. Elemen- elemen horor di dalam film ini terbentuk tanpa berlebihan disana sini meskipun kenyatannya bahwa film ini lebih menekankan studi karakter seorang ibu single mother bermasalah.

 Namun di balik kelebihannya, sayangnya kita menemukan beberapa kekurangan juga pada film ini.Yang pertama, transisi alur melalui perpindahan beberapa adegannya sungguh kurang `sedap` disaksikan. Kadang-kadang hal ini sangat wajar membuat penonton kebingungan dengan kejelasan cerita dan maksud dari setiap adegannya. Yang kedua, pengembangan alur terasa datar pada film. Akhir kata, The Babadook jelas bukan horor biasa terutama dengan visual monster Babadook yang mengingatkan terhadap beberapa karakter horor terkenal, seperti Annabelle namun The Babadook menampilkan cerita lama dan usang dengan gaya penceritaan unik sehingga membawanya kepada sebuah film yang memiliki rasa akan originalitasnya.