Kamis, 24 Desember 2015

Star Wars VII: The Force Awakens


Sutradara: J.J Abrams, 2015



Waktu yang telah lama ditunggu telah tiba. The Force telah kembali.  Apa saja  yang terbaik dalam Star Wars - Film, acara TV, video game, spin-off, dalam setidaknya 32 tahun, Star Wars: The Force Awakens memberikan energi kehidupan baru menjadikan salah satu franchise terbaik sepanjang sejarah dengan cara yang baik membangkitkan kesenangan- terutama bagi penonton yang lahir di tahun 80-an- terlihat begitu menjanjikan. Namun, sementara batu ujian  terletak pada siapa sutradaranya. George Lucas sang pencipta orisinal Star Wars, kini berpindah diarahkan oleh J.J Abrams . Ada pergeseran tone yang membawa materi lebih dekat dengan nuansa film Steven Spielberg. Serentak premiere hampir di seluruh dunia sebelum Natal, debut pertama dari distributor film Disney ini sebagai kustodian baru memberikan tidak hanya satu melainkan dari dua atau tiga film terlaris sepanjang masa.
 

Tiga puluh tahun setelah Episode VI: "Return of the Jedi" peristiwa perang Rebellion dilancarkan terhadap Kekaisaran Galactic, ancaman baru telah muncul, mengancam untuk mengambil alih galaksi seperti yang dulu dilakukan oleh Darth Vader dan The Emperor. Mereka menyebut dirinya  The First Order, dipimpin oleh hologram dari Pemimpin Tertinggi  Snoke (Andy Serkis), dan seorang pria bertopeng hitam bernama Kylo Ren (Adam Driver), salah satu yang kuat dalam sisi gelap dari Force. Meski dengan tidak adanya Luke Skywalker (Mark Hamill), yang telah mengasingkan diri ke lokasi tersembunyi untuk alasan rahasianya sendiri, Resistance tetap dipimpin oleh Putri Leia (Carrie Fisher), gerakan yang menaruh harapannya untuk menemukan Luke, membawanya kembali, dan menggunakan sisi terang untuk menaklukkan sisi gelap. Sebagai film pertama dari trilogi selanjutnya, tiga orang petualang muda akan bergabung bersama untuk memperjuangkan kebaikan galaksi: Poe Dameron (Oscar Isaac) seorang pilot, Rey (Daisy Ridley) si pemulung, dan Finn (John Boyega) mantan anggota Stormtrooper . Mereka  bergabung menemukan sang Mater Jedi, bertemu sekutu baru, dan menentang The First Order.


Visualisasi yang menakjubkan, emosional yang bercampur aduk, score music yang melegenda ditangan John Williams. Masih dengan plot cerita yang dimulai dengan kalimat “ a long time ago in a galaxy far far away..”, yang diakhiri dengan maksud untuk film masa depan, dan dikemas di tengah dengan segala sesuatu yang membuat penonton sangat betah duduk di kursi bioskop dengan durasi 2 jam lebih. Mulai dari kembalinya  karakter utama , lagu tema lama, referensi klasik, robot andoid yang disukai anak kecil R2-D2 ke BB-8 , pahlawan pemberani, dan perjuangan terus-menerus antara terang & gelap; itu semua ada. Dan tidak hanya itu, elemen kisah baru dibuat untuk mengisi beberapa celah kosong didalamnya, menciptakan  cerita baru yang menggairahkan kita dengan kemungkinan-kemungkinan baru. Poe menerbangkan pesawat X-wing , Rey memegang pedang lightsaber berwarna biru; perpaduan antara yang baru dengan yang lama adalah suatu hal yang sangat brilian, memberikan kita semua apa yang kita inginkan.



Pada akhirnya, "Star Wars VII: The Force Awakens" menunjukkan karya seorang J.J Abrams seorang pembuat film yang menghadapi tugas terberatnya yaitu bagaimana melanjutkan salah satu ensembles yang paling dicintai dalam sejarah film, melanjutkan petualangan karakter mereka sebelumnya, dan membantu mereka melewati tongkat dari generasi jaman dulu ke jaman modern hingga menjadi  salah satu tokoh ikonik  saat ini - dan muncul kembali dengan solusi yang bahkan ketika itu tidak terpikirkan, diikutkan ke dalam seri ini dengan cukup stylish, momentum, cinta untuk membuktikan kepada siapa pun yang pernah menganggap diri sebagai seorang penggemar sejatinya Star Wars. Dan mengenai cliffhangerendingnya atas beberapa pertanyaan yang belum terjawab setidaknya ini menjadikan spekulasi 18 bulan ke depan. Sekarang saatnya untuk menantikan apakah Episode VIII ( Mei 2017) dapat membangun serta membawa franchise Star Wars kembali ke orbit yang lebih tinggi.



 

Minggu, 07 Juni 2015

Insidious: Chapter 3

Sutradara: Leigh Whannell, 2015 

Hingga saat ini, franchise Insidious  membahas permasalahan teror yang terjadi hingga dua generasi dari keluarga Lambert dan upaya untuk mengusir warisan iblis tersebut. Dengan diperankan oleh Patrick Wilson, Rose Byrne dan Lin Shaye, dua film sebelumnya berhasil membuat penonton ketakutan seperti tercermin dalam perolehan box office signifikan pada tahun 2011 dan 2013.

Alih-alih meninjau kembali sejarah  dari keluarga Lambert, Bab 3 melanjutkan kontinuitas ceritanya dari salah satu karakter pendukungnya yaitu Elise Rainier (Shaye), seorang cenayang yang membantu keluarga Lambert dalam dua film pertama. Jauh sebelum Elise dikenal sebagai pengusir/pemburu setan, dia hidup menyendiri jauh dari keramaian setelah kematian suami tercinta. Hingga suatu ketika seorang  remaja putri, Quinn Brenner (Stefanie Scott) datang mengetuk pintu rumahnya. Dalam keadaan penasaran apa yang terjadi pada ibunya, Lily, Quinn mencari bantuan mencoba berkomunikasi  di akhirat sana. Sebenarnya Elise enggan untuk membantu, tapi kemudian dengan cepat berbalik saja ketika usahanya untuk menjangkau Lily terungkap satu roh yang jauh lebih jahat membayangi Quinn.

Tidak ada yang sangat salah dengan cerita tentang hantu itu sendiri. Masuk akal, ada logika ketika sesuatu terjadi, dan Whannell masih melakukan yang terbaik untuk menjaga pace film ini semisalnya ada beberapa serangan hantu tiba-tiba dalam jarak dekat diselingi oleh karakter tokoh didalamnya mencoba untuk mencari tahu bagaimana untuk menanganinya. Karakter utama  Quinn sendiri bukan karakter yang  menarik dan jika di akhir cerita tersingkap siapa atau apa yang menghantui pribadinya adalah hal yang tidak terlalu mengejutkan, dengan catatan jika Anda tahu genre ini . Hal-hal yang paling menarik di bab 3 ini adalah yang dilakukan oleh Elise di “luar sana”, The Further.

(Mungkin) inilah beberapa kekurangan terbesar dengan Bab 3. Selama dua film pertama, kita telah belajar cukup banyak tentang The Further”, dan tampaknya tentang itu saja rasanya ada hal lebih yang bisa lebih banyak digali dari franchise film ini. Kenyataanya dalam sekuel kali ini mereka berbicara tentang “The Further” sedikit, ya  tidak mendapatkan porsi waktu lebih banyak. Ide yang paling menarik dalam Insidious adalah tentang hubungan ayah dan anak, yang dimainkan oleh Patrick Wilson dan Ty Simkins, yang keduanya memiliki kemampuan untuk meninggalkan tubuh mereka di malam hari dan menjelajahi “The further”.  Jadi seharusnya atau lebih baik ada lebih banyak orang yang bisa melakukan itu dengan kata lain mengapa tidak menggunakannya untuk mengeksplorasi sudut-sudut lebih dari dunia lain itu?. Malah yang penonton saksikan adalah ide pengulangan cerita hantu (lagi) seperti film- film hantu kebanyakan?.

Akhir kata, diluar beberapa kekurangan baik dari segi ide cerita yang dibawakan maupun tingkat keseraman yang boleh dibilang masih kalah creepy-nya dengan 2 seri sebelumnya, Insidious 3 tetap merupakan salah satu franschise film horror yang mampu memacu jantung penontonnya layaknya naik roller coaster. Ada banyak jenis horor, tapi ketika Whannell dan Wan, berusaha maksimal memanfaatkan ide menyuntikkan rasa takut, cerita dan humor ke dalam fitur mereka, itu mungkin tidak menjadi sesuatu hal yang monoton, menonton berulang-ulang. Adalah suatu keasyikan tersendiri ketika duduk di bangku sebuah teater yang gelap dengan penonton yang ramai, kita mungkin akan memiliki waktu yang menyenangkan.

 

Minggu, 31 Mei 2015

San Andreas

Sutradara: Brad Peyton, 2015
 
Dalam film San Andreas, Johnson berperan sebagai  Ray Gaines, seorang pilot helikopter LAFD yang mengkhususkan diri dalam operasi pencarian dan penyelamatan di Los Angeles. Di lokasi berbeda  tepatnya Cal Tech, seorang ahli gempa Dr. Lawrence Hayes (Paul Giamatti) memprediksi akan terjadi  serangan gempa berturut- turut di sepanjang garis patahan San Andreas, mulai dari Los Angeles hingga San Francisco. Apa yang dilakukan sang tokoh utama? Ray memprioritaskan keselamatan keluarganya terlebih dahulu. Adalah Emma (Carla Gugino), mantan istrinya, dan putri mereka, Blake (Alexandra Daddario) yang terjebak di reruntuhan di Frisco sampai diselamatkan oleh Ben (Hugo Johnstone-Burt) dan adiknya, Ollie (Seni Parkinson).

Sebagian penonton pasti bertanya siapa yang mengarahkan film sedahsyat ini . Ini cukup beralasan karena melihat filmografi dari sang sutradara, banyak yang tidak mengira ia bisa membuat film bencana alam sehebat itu. Ambil contoh hanya 2 (dua) film layar lebar yang diarahkan olehnya, Cats and Dogs: The Revenge of Kitty Galore (2010) dan Journey 2: The Mysterious Island (2012,) selain itu merupakan karya film pendek. Dari 2 film itu saja hasil perolehan box office-nya tidak bagus-bagus amat. Seperti film bertema sejenis banyak mengambil adegan dalam berbagai lokasi dan dalam berbagai macam manusia menghindari puing-puing dan melakukan banyak teriakan - gempa menghancurkan LA dan San Francisco secara bersamaan. Namun sebagai pembeda dari film sejenis Peyton mengambil satu atau dua detil adegan yang mudah diingat oleh penonton nantinya. Contohnya ketika di  udara Ray melirik ke bawah melihat persimpangan jalan bebas hambatan diam-diam runtuh, atau pengambilan shot panjang ketika Emma berada didalam bangunan tinggi bersamaan dengan para pelayan dan tamu panik mencari keselamatan. Ya, meski Brad Peyton mengarahkan tema bencana alam adalah untuk pertama kalinya tetapi harus diakui dirinya berhasil membuat filmnya ini terlihat alami yakni bagaimana mengambil  angle dari jarak dekat, bukan dari angle jauh.

San Andreas sangat ingin membuat audiensnya  merasakan ketakutan yang sama yang dialami ketika seluruh kota dihancurkan oleh kekuatan alam di luar kendali manusia, sekaligus juga benar-benar ingin membuat audiensnya berpikir apakah Ray bisa menyelamatkan pernikahannya hingga dipenghujung cerita. Karena memang begitulah yang diinginkan oleh sutradara Brad Peyton bersama penulis Carlton Cuse bertujuan untuk keduanya. Performa sang tokoh utama di film ini Dwayne Johnson a.ka. The Rock sebagai seorang ayah yang merasa bersalah atas kejadian dimasa lampau membawa dirinya harus tampil menangis didepan kamera, sangat jarang bukan. Sementara itu Paul Giamatti sebagian besar muncul untuk menguraikan ilmu seismologi yang sedang diperdebatkan. Alexandra Daddario yang terus-menerus –entah disengaja atau tidak- mempertontonkan ,maaf,belahan dadanya tidak peduli situasi atau adegan, dalam usahanya  mencapai keselamatan.

San Andreas bukan tentang kekacauan bencana alam dalam skala kecil, malah sebaliknya gempa pertama yang sudah terjadi membuat gempa selanjutnya dalam skala Ritcher lebih besar dari sebelumnya. Sekali lagi audiens diajak bersama melakukan perjalanan dengan Dwayne Johnson ke jantung kota gempa. Adalah sebuah nasib keberuntungan yang dibawakan secara berlebihan ketika situasi semakin memburuk disaat bersamaan ditutupi oleh tontonan CGI mengambil prioritas di atas fakta ilmiah. Diluar nalar tersebut, San Andreas termasuk salah satu film bencana alam terbesar akhir-akhir tahun ini- masih ingat film “2012” arahan Roland Emmerich yang filmnya begitu menggemparkan seluruh dunia termasuk di Indonesia khususnya-yang telah absen dari tema film bencana alam.


Minggu, 24 Mei 2015

Spy

Sutradara: Paul Feig, 2015

Tak banyak yang menyangka kalau Paul Feig masih memakai Melissa McCarthy sebagai salah satu pemain aktrisnya sampai film ketiga yang ia buat dalam tahun berturut-turut. Ini dimulai pada tahun 2011 film Bridesmaids  bercerita tentang pengiring pengantin wanita, kemudian berlanjut pada tahun 2013 film The Heat bercerita tentang dunia kriminalitas dan ditahun ini dirilislah film Spy yang kalau sekilas temanya hampir mirip dengan film The Heat. Bagi yang sudah menonton setidaknya 2 (dua) film tersebut, kalian pasti tahu bahwa semua film yang dibuat oleh Feig rata-rata bergenre komedi.  Jadi, sudah pasti  nanti jangan terkecoh akan judulnya yang terlihat sangat serius ini.

Kisahnya dimulai dengan adegan aksi layaknya film-film James Bond yang sangat menjanjikan, Bradley Fine (Jude Law) seorang agen mata-mata yang menyelidiki sebuah kasus  pencarian siapa penyimpan senjata nuklir portable. Dalam menjalankan setiap misinya  ia dibantu oleh seseorang. Adalah Susan Cooper (Melissa McCarthy) yang bertindak sebagai  “mata dan telinga” bagi Bradley. Melalui keahliaannya di meja computer, aksi Bradley terbilang selalu berhasil. Hingga suatu ketika Bradley dinyatakan meninggal dunia dalam menyelidiki kasus berikutnya. Karena pemimpin kerja Bradley, Elaine Crocker (Allison Janney) belum menemukan pengganti yang tepat untuk meneruskan kasus tersebut dan ditambahi kalau dari diri Cooper sendiri merasa balas dendam akan kematian sahabat dekat rekan kerjanya. Mau tidak mau tibalah saatnya Cooper menjadi seorang  agen wanita mata-mata.

Dari sinopsis cerita diatas terlihat jelas bahwa Spy memang film aksi yang mengangkat dunia agen mata-mata. Ya, ini tidak dipungkiri karena dalam paruh pertama audiens akan diperlihatkan semua hal yang berkaitan dengan agen mata-mata. Mulai dari perlengkapan yang dipakai, aksi sepak terjang dilapangan, hingga perkelahian yang tidak dapat dihindari saat berhadapan langsung dengan musuh. Benar-benar dibuat dan terlihat serius. Pelan pelan namun pasti film ini mulai menunjukkan genre komedinya. Salah satu yang mungkin akan menjadi adegan memorable yaitu ketika Cooper mengejar mobil musuh dengan menggunakan semacam sepeda motor dijalan raya. Dijamin tidak mungkin tidak tertawa. Semua audience tidak ada yang mengira ada ide semacam itu. Super lucu. Berbicara mengenai ide, ini semua tak luput dari Feig sendiri, selain menjadi seorang sutradara dirinya merangkap sebagai penulis cerita. Bagaimana meramu sebuah cerita bagus dimana komposisi adegan aksi dengan adegan humornya terasa sama rata, tidak melebihkan salah satu. Itu tugas yang tidak mudah. Untungnya, semua menjadi mudah berkat  aktris Melissa McCarthy -tanpa harus kita melihat kelucuannya dari tampilan fisik- aktingnya di film ini terlihat natural sekali. Karakternya adalah seorang wanita yang mendambakan cinta dari seorang pria idaman tapi ketika mengetahui sang pujaan meninggal dunia, apapun akan dilakukannya.

Masih di ingatan penulis beberapa bulan lalu ada satu film yang juga mengambil tema cerita agen mata-mata, The Kingsman : The Secret Service. Dalam menyorot kisah sang lakon utama sebagai seorang spionase,  kedua film ini baik Kingsman dan Spy sedikit berbelok/ berbeda dari film tentang spionase yang sudah-sudah.  Pembedanya kalau di Kingsman masih banyak berjalan dijalur aksi, banyak adegan sadis bahkan satu adegan disensor habis di Indonesia, sedangkan pada Spy lebih mengandalkan humor. (Mungkin) yang lebih meng-humor-kan audiens adalah dalam film ini aktor Jason Statham yang selama ini kita tahu aktor berkepala plontos hampir sebagian besar bermain di film penuh aksi baku hantam, ledak-ledakkan bahkan di film franshise Fast and Furious, Furious 7 dirinya mengambil peran antagonis tetapi di film ini  seakan-akan kehilangan “taringnya”. Ini bukan berarti aktingnya menurun, malah boleh dibilang asyik juga sekali-kali melihat akting Statham bermain di film bergenre komedi. Akhir kata, ditengah gempuran film sarat aksi pada musim panas tahun ini-yang walau masih berlanjut film blockbuster beberapa bulan kedepan-  tidak ada salahnya kalian menonton film ini demi menghilangkan kepenatan rutinitas sehar-hari. Spy adalah kisah kocak seorang agen mata-mata.


Sabtu, 16 Mei 2015

Mad Max: Fury Road

Sutradara: George Miller, 2015


Sebelum membahas lebih dalam, ada baiknya kita sedikit tahu bahwa film ini merupakan seri keempat dan merupakan salah satu franchise film yang butuh waktu hampir 30 tahun lamanya untuk dibuat cerita kelanjutannya. Lama juga, bukan. Di tahun ini setting ceritanya masih tetap mengetengahkan dunia pasca-apokaliptik hanya saja dilakonkan oleh para wajah baru. Dengan menjanjikan tingkat ke'gila'an yang tak kalah serunya dari pendahulunya. Tidak hanya menampilkan sisi visualisasinya begitu memukau namun ada kedalaman emosional yang terus-menerus membuat kita jangan sampai lengah. Ini semua karena si pembuat film, Miller tak pernah mengangkat kakinya dari pedal gas.

Dari voice over yang disuarakan oleh sang lakon utama, kita tahu bahwa dunianya saat itu penuh dengan api dan darah. Setelah dalam pengejaran, Max (Hardy) akhirnya tertangkap dan dipenjarakan di sebuah lokasi bernama Citadel dimana dipimpin oleh seseorang yang mengaku dirinya layaknya dewa, Immortan Joe (Keays-Byrne), penjaga minyak dan air. Masalah dimulai ketika salah satu orang kepercayaannya, Imperator Furiosa (Theron) membelot dari tugas yang diberikan dengan membawa serta war-rig. Mengetahui hal itu, Joe mengutus putranya Rictus (Jones) dengan seorang sopir yang lagi sakit, Nux (Hoult) yang membawa keluar Max ke dalam mobilnya berfungsi sebagai "kantong darah" bagi tubuhnya. Setelah beberapa pertempuran, Max dan Nux berakhir di war-rig Furiosa. Dan, dari war- rig inilah terdapat sesuatu yang lebih diinginkan oleh Joe lebih dari sekedar puluhan ton minyak yang dilarikan Furiosa.

Seperti yang ditulis di paragraph pertama, Mad Max: Fury Road adalah sebuah film yang hampir seluruh durasinya penuh dengan"ke-gila-an", oleh karenanya tentu sangat dibutuhkan para pemeran yang akan berkomitmen untuk membuat "dunia" tersebut akan terlihat nyata. Dan, George Miller berhasil mengumpulkan beberapa pemain film ternama dalam satu filmnya. Penampilan Tom Hardy sebagai Max Rockatansky di sekuel kali ini boleh dikatakan cukup menjiwai karakternya meski masih belum bisa menyamai apa yang sudah dilakukan oleh Mel Gibson dalam tiga seri sebelumnya. Malah yang terlihat sisi badass-nya ada pada pada karakter Furiosa, yang diperankan oleh Charlize Theron. Nicholas Hoult adalah unsur kejutan yang luar biasa sebagai Nux, berkaitan dengan koneksi karakter Immortan Joe.

Mad Max: Fury Road adalah sebuah film action tentang penebusan dan revolusi. Tidak pernah puas hanya mengulangi apa yang dia lakukan sebelumnya (bahkan tiga pertama "Mad Max" memiliki kepribadian yang sangat berbeda), Miller telah merumuskan kembali visi masa depan, membayangkan sebuah dunia di mana manusia telah menjadi pion dari seorang pemimpin gila dan seorang perempuan memegang keras sebuah harapan baru. "Fury Road" mampu menorehkan  prestasi dalam bidang teknis perfilman murni,- dalam menghadapi pesta pora CGI blockbuster dengan beberapa editing terbaik dan desain suara- namun Miller meraih sesuatu yang lebih besar daripada kecakapan teknis . Dia memegang tinggi tindakan yang ia ciptakan dalam "The Road Warrior" dan berpendapat bahwa Hollywood tidak seharusnya menyalin selama tiga dekade terakhir, mereka harus telah melebihi. "Fury Road" adalah tantangan untuk seluruh generasi pembuat film aksi, mendesak mereka untuk mengikuti jalan yang berani ke masa depan dan, seperti Miller, mencoba yang paling sulit untuk menciptakan sesuatu yang baru.

Jumat, 24 April 2015

Avengers: Age Of Ultron

 Sutradara: Joss Whedon, 2015

Walau Loki sudah tidak lagi menjadi/ bagaikan lalat yang sulit dibasmi oleh tim Avengers. Nyatanya salah satu bagian yang melekat pada dirinya masih saja merepotkan. Sebagai pengingat mid-credit scene dalam film Captain America: The Winter Soldier (2014) tongkat Loki berada ditangan Baron Strucker (Thomas Kretschmann) yang mana merupakan salah satu anggota HYDRA. Mengetahui hal itu tim Avengers lagi- lagi harus mengambil tongkat tersebut dari tangan Strucker dengan melakukan serangan ke markas riset HYDRA. Sampai disini misi mereka berhasil. Dari hasil penelitian dan saling bertukar pikiran antara Tony Stark a.k.a Iron Man dengan Bruce Banner a.k.a Hulk, terciptalah sebuah ide tentang Artificial Intelligence (baca: Kecerdasan Buatan). Ultron, begitulah namanya dan dialah tamu tak diundang datang merusak acara pesta kawanan Avengers.

Ide yang tercetus di pikiran Stark semula tidak ada yang salah tentang membawa dunia dalam masa damai. "Dunia butuh Ultron sebagai penjaga perdamaian dunia, yang tidak lagi menjadi imajinasi belaka", begitulah kata yang diucapkan olehnya. Tetapi, masa damai yang ada dipikiran Ultron adalah meringkus tim Avengers. Tidak terpikirkan sebelumnya,bukan. Ya, sama halnya dengan ide yang tidak diduga oleh audiens yang coba dihadirkan oleh sutradara Joss Whedon dalam sekuelnya yang dinanti-nanti baik oleh para purist komik Marvel maupun penonton yang sudah setia akan dunia M.C.U ( Marvel Cinematic Universe) dimulai sejak tahun 2008 melalui film Iron Man. Sebuah konsep ide cerdas dimana tidak perlu menghadirkan musuh bebuyutan yang nun jauh disana, cukup unsur dari dalam saja. Sebuah hasil karya malah membuat perkara sulit bagi sang pekarya. Sudah lebih dari cukup tim Avengers kewalahan menghadapinya. Sebenarnya, kalau mau diingat ide Whedon kali ini bukan yang pertama kalinya. Tengok ke belakang, dalam Marvel's The Avengers (2012) bagaimana Loki yang merupakan adik dari Thor (pihak dari dalam) sama- sama merepotan dan bikin pusing tim Avengers. Melakukan serangan alien ke Bumi meluluhlantakan sebagian kota New York.

Jika Loki hanya melakukan serangan dengan tujuan untuk menjadi penguasa Bumi, Ultron pun juga demikian. Namun ada kelebihan kepintaran yang dimilikinya. Dengan berbasis komputer internet, Ultron mengetahui sisi kelemahan tiap anggota Avengers. Seru. Untuk menambah segi aksi dua kali lipat serta demi memuaskan keinginan audiens, Whedon menampilkan 2 (dua) karakter baru kakak beradik, The Twins. Pietro Maximoff a.k.a Quicksilver yang memiliki kekuatan kecepatan super sementara Wanda Maximoff a.k.a Scarlet Witch memiliki kekuatan sihir yang mampu mengendalikan pikiran. Tidak sampai disana, ditengah cerita muncul satu lagi karakter yang makin menambah ramainya kehadiran superhero dalam satu layar, Vision. Siapa mereka (superhero) itu sebenarnya dan apa tujuan Whedon menghadirkan di sekuel kali ini. Akan terjawab satu persatu. Termasuk didalamnya Whedon mengangkat tema -rasanya sebelumnya belum pernah diangkat ke film- tentang bagaimana masa lalu yang dialami oleh beberapa tim Avengers sebelum mereka tergabung menjadi satu tim.

Menyinggung soal ramainya kehadiran superhero, semuanya hadir disini dalam durasi 2 jam lebih. Mulai dari Nick Fury yang kita tahu dia ada ketika para Avengers mengharapkan kehadirannya. Ada James Rhodes a.k.a War Machine, kawan dekatnya Iron Man. Sam Wilson a.k.a The Falcon, sahabat sekaligus penolong Captain America dalam filmnya Captain America:The Winter Soldier. Erik Selvig, seorang dosen dari kekasih Thor,Jane Foster. Serta jangan lupakan cameo si pencipta komik Marvel, Stan Lee. Sementara itu, adu mulut antara Captain America dan Iron Man masih tetap ada. Thor dan Hulk yang masih juga mengandalkan kekuatan tangan mereka untuk berbicara. Oiya, berbicara soal Hulk, kali ini dia mendapat bagian lebih dari sebelumnya. Harus diakui, bukanlah tugas yang mudah bagi seorang sutradara menyajikan kisah Earth's Mightiest Heroes ( Pahlawan Terkuat di Bumi) hanya dalam selang waktu 3 (tiga) tahun dari sebelumya. Salah satu buktinya adalah pada kekuatan sisi aksi yang dilayarkan kepada penonton. Bukan berarti segi aksinya kurang greget , bahkan sekuen aksi lebih banyak. Namun boleh dibilang itu sudah pernah kita tonton di The Avengers (2012). Mungkin, sebagai pengobatnya (lagi-lagi) seperti ciri khas film keluaran Marvel adalah menampilkan sekelumit adegan di mid credit scene yang bikin penonton tambah semangat.           


Minggu, 12 April 2015

Fifty Shades of Grey

Sutradara: Sam Taylor- Johnson, 2015


Sebagian besar satu atau dua kalimat sinopsis dari suatu film baru bisa menggambarkan apa tema dari film itu sendiri - namun tidak demikian bagi film yang esensinya dapat ditulis sangat singkat seperti layaknya twitteran dalam140 karakter. Seorang gadis kuliahan pemalu bertemu dengan seorang cowok kaya raya yang mencoba memanipulasi dirinya untuk menjadi "pihak yang patuh" (submissive) tunduk kepada "pihak dominan" (dominant). Membuka "jendela" BDSM (Bondage & Discipline, Dominance & Submission, Sadism & Masochism) yang mana terjadi tanpa adanya hubungan lebih alias sesuai kontrak yang telah disepakati berdua, selesai. Namun, apa yang terjadi bila 2(dua) peserta dalam hubungan BDSM tersebut (a dom dan a sub ) ternyata menemukan kecocokan, itu lain cerita. Ketika yang satu memegang kendali sementara yang satunya mencari hubungan normal, hal-hal bisa berubah baik secara fisik dan emosional. Ya, justru inilah yang akan terjadi di Fifty Shades of Grey.

Diadaptasi langsung dari novel karangan E.L. James kemudian oleh Kelly Marcel (Saving Mr. Banks) sebagai penulis skenario film mengisahkan kembali hubungan romantisme dalam kadar diluar kenormalan, dalam batasan dan kontrol. Hal ini tidak bisa dipalingkan tentang laki-laki dan perempuan melakukan ekperimen hasrat seksualnya. Seorang mahasiswi bernama Anastasia Steele (Dakota Johnson) masih perawan dibuat kagum ketika dia bertemu seorang pria miliarder Christian Grey (Jaime Dornan) untuk mewawancarainya untuk koran sekolah. Semua ini terjadi dengan cara biasa-biasa saja - tidak ada rayuan terjadi di sini, dan Christian kurang/tidak pandai merayu seorang perempuan. Dirinya tidak membuat usaha untuk menjadi manis, karena pada kenyataannya dirinya seorang pendominasi/ pengendali.

 
Sudah bukan menjadi rahasia lagi bahwa Fifty Shades of Grey mencapai ketenaran karena adegan seks panasnya meskipun mereka (baca:dibelakang layar) telah berusaha menurunkan serta mempersingkat durasi "panas" demi menghindari rating NC-17 yang kita tahu rating ini sangat ditakuti/ dihindari para pembuat film. Sutradara Sam Taylor-Johnson sudah melakukannya dengan  pendekatan amannya. Tidak ada gairah lebih yang muncul saat adegan Johnson dan Dornan menanggalkan pakaian. Hubungan chemistry diantara mereka walau dipaksakan supaya benar-benar terlihat natural tetapi masih juga tidak ada "panas" yang penonton rasakan/lihat. Selama adegan bathtub ketika Johnson bersandar di depan Dornan, ada rasa ketidaknyamanan - seolah-olah tak satu pun dari mereka ingin berada di sana. (Perhatikan ekspresi mereka.) Kurangnya keakraban (dinginnya) kedua aktor ini dapat dikatakan menjadi penyebab gagalnya film ini berbicara tentang obsesi, kekaguman, bahkan yang namanya cinta.

Memang, menerjemahkan novel seperti ini tidak bisa dilakukan dalam durasi dua jam. Ya, daripada mengakhiri sekali saja mengenai keburukan Christian dan janji Ana untuk bertemu, Fifty Shades of Grey memutuskan untuk tidak menyelesaikan kisah mereka. Kelihatannya menjanjikan akan ada lebih kecemasan, manipulasi, dan emosional dalam seri berikutnya. Oke, rencana dibuat sekuel tidak menjadi masalah dan bisa dicek di IMDB tahun 2017 dan 2018 dimana kedua sekuelnya pasti dirilis.  Akan menjadi pertanyaan dikedepannya jika tidak melihat reaksi penontonnya, apakah masih mau menonton lanjutannya?. Akhir kata, satu-satunya alasan menonton film ini selain melihat bagaimana "panas"-nya tersebut yakni ada satu lagu dimana liriknya pas dengan penggambaran keseluruhan filmnya dibawakan oleh Ellie Goulding berjudul " Love Me Like You Do".