Minggu, 06 Januari 2013

Sang Penari

Sutradara: Ifa Isfansyah, 2011


Apa jadinya jika novel trilogi “Ronggeng Dukuh Paruk” tahun 1982 karya Ahmad Tohari mengisahkan perjalanan cinta 2(dua) insan manusia yang terkadang terbentur oleh impian, diterjemahkan ke layar lebar dengan didukung oleh artis papan atas Indonesia. Sepertinya film ini terlihat menjanjikan. Pemeran utama wanita disini sepertinya saya pernah lihat dia sebelumnya  di salah satu TV swasta, dan ternyata benar dia pernah membawakan acara TV “Termehek Mehek”, ya yang saya maksud adalah Prisia Nasution. Selain itu ada aktor dan aktris terkenal yang turut meramaikan film ini mulai dari Oka Antara,  Lukman Sardi, Happy Salma, Tio Pakusadewo,Dewi Irawan hingga Slamet Rahardjo. Bahkan film karya anak bangsa ini telah berhasil meraih “Film Bioskop Terbaik” dalam satu ajang bergengsi perfilman Indonesia, FFI  2011 (Festival Film Indonesia) lalu. Ya, itulah beberapa alasan yang membuat saya di awal bulan Januari 2013 ingin menonton bagaimana kekuatan kisah ini akan bertutur.

Adalah Rasur (Oka Antara) seorang tentara yang sedang mencari seorang perempuan bernama Srintil ( Prisia Nasution) di dalam suatu kampung desa, Dukuh Paruk. Siapa mereka berdua? Apa yang sedang terjadi sebelumnya? Kisah pun kembali ke beberapa tahun silam, tahun 1953. Sejak masih kecil mereka berdua, Rasus dan Srintil adalah teman bermain. Suatu malam, Srintil menonton satu pertunjukkan Ronggeng yang ditarikan oleh Surti. Keindahan tarian ini langsung memikat perhatiannya. Perhatian Srintil selalu tertuju pada Surti. Hingga satu hari Dukuh Paruk kehilangan Ronggeng-nya. Surti , menjadi salah satu korban meninggal dunia akibat keracunan massal tempe bongkrek.

10 ( sepuluh) tahun kemudian Srintil dan Rasus telah menginjak usia dewasa. Selain dengan Rasus, dirinya juga mempunyai satu teman yang bisa diajak untuk mengobrol. Seorang pria tua tuna netra yang selalu membawa gendangnya untuk menemani seorang Ronggeng saat berjoget. Secara tak sengaja gendangan  yang dibawakan pria tuna netra tadi membuat indang atau roh ronggeng yang ada di dalam Srintil tiba- tiba mengalir keluar. Mengetahu hal ini, Sakarya kakeknya Srintil membawa dirinya ke Kertareja, seorang dukun Ronggeng supaya dibuat menjadi seorang Ronggeng penerus Surti. Kehidupan desa Dukuh Paruk kembali bergairah setelah muncul Ronggeng baru, terlebih lagi wajah Srintil yang memang cantik sehingga tak mungkin jika suatu hari baik diri dan juga tariannya akan terkenal diluar desa Dukuh Paruk. 

Tetapi, perjalanan menjadi seorang Ronggeng membu`t dirinya semakin jauh dengan Rasus dan konsekuensi yang harus diterimanya jika menjadi seorang Ronggeng terkenal. Menjadi seorang Ronggeng berarti siap untuk “membuka kelambu”, ya Srintil bersedia menjadi teman tidur bagi pria yang berduit banyak. Hal inilah yang tidak disenangi oleh Rasus. Perjalanan cinta mereka kemudian terpisah karena Rasus masih orang miskin yang tak bisa memiliki Srintil dalam kehidupannya. Suatu hari, Rasus mulai meninggalkan Dukuh Paruk.  Dengan polosnya mendaftarkan diri sebagai seorang tentara. Polos, ya dirinya tak bisa membaca dan menulis. Tetapi, kepolosannya diterima oleh salah satu Sersan di sana. Meski pertama kali bekerja di kantor tentara sebagai seorang pembantu ( Office Boy) lambat laun impian dirinya menjadi seorang tentara terwujud. Demikian pula bagi Srintil, impiannya membawa kesenian tarian semakin berkibar dan tampil di setiap pertunjukkan pun terwujud, Dari sini, seharusnya Rasus bisa memiliki Srintil demikian pula sebaliknya. Sayang, keadaan tidak berpihak ikatan tali cinta mereka berdua kembali teruji.

Terlepas film ini hasil adaptasi dari novel Trilogi “Ronggeng Dukuh Paruk”, saya benar- benar tertarik bahkan menyukai sedari awal film ini mulai bertutur. Mulai dari pemilihan lokasi desa yang tepat ( kelihatan ndeso-nya), penggunaan dialek bahasa Jawa yang sangat kental, hingga baik para pemain artis ternama dan pemain figuran tampil menjiwai setiap peran yang akan dibawakan. Dari beberapa pemain,  akting Prisia Nasution yang kelihatan lebih tampil maksimal, perasaan yang ia alami benar- benar terasa. Dan, saya melihat ada beberapa semacam tradisi leluhur turut ditampilkan semisalnya sebelum Ronggeng mulai menari harus didahului oleh sesajen kemudian untuk memutuskan tali cinta ditanamkanlah satu telur dibawa tanah dan diatasnya diberikan kembang. Semua kelebihan tadi ada satu kekurangan yakni pada pemakaian dialek yang sangat kental, karena bagi saya pribadi kurang mengerti apa yang saat itu dikatakan oleh para karakter disana. Akhir kata, jika ingin menonton film Indonesia yang berlatar belakang sekitar tahun 60-an dengan dunia seni tari tradisional sebagai benang merahnya disertai pasang surut perjalanan kisah cinta, saya sarankan tidak rugi untuk menonton film ini.

   

0 komentar:

Posting Komentar