Sutradara: Brad Peyton, 2015
Dalam film San Andreas,
Johnson berperan sebagai Ray Gaines,
seorang pilot helikopter LAFD yang mengkhususkan
diri dalam operasi pencarian dan
penyelamatan di Los Angeles. Di lokasi berbeda tepatnya
Cal Tech, seorang
ahli gempa Dr. Lawrence Hayes (Paul
Giamatti) memprediksi akan terjadi serangan gempa
berturut- turut di sepanjang garis patahan
San Andreas, mulai dari Los Angeles hingga San Francisco. Apa yang dilakukan sang tokoh utama? Ray memprioritaskan keselamatan keluarganya
terlebih dahulu. Adalah Emma (Carla Gugino), mantan istrinya, dan putri mereka, Blake (Alexandra Daddario) yang terjebak di reruntuhan di Frisco
sampai diselamatkan oleh Ben (Hugo Johnstone-Burt) dan adiknya, Ollie (Seni Parkinson).
Sebagian penonton pasti bertanya siapa yang
mengarahkan film sedahsyat ini . Ini cukup beralasan karena melihat filmografi dari sang sutradara, banyak yang tidak
mengira ia bisa membuat film bencana alam sehebat itu. Ambil contoh hanya 2
(dua) film layar lebar yang diarahkan olehnya, Cats and Dogs: The Revenge of Kitty Galore (2010) dan Journey 2: The Mysterious Island (2012,)
selain itu merupakan karya film pendek. Dari 2 film itu saja hasil perolehan
box office-nya tidak bagus-bagus amat. Seperti film bertema sejenis banyak mengambil adegan dalam berbagai lokasi dan dalam berbagai macam manusia menghindari puing-puing dan melakukan banyak teriakan
- gempa menghancurkan
LA dan San
Francisco secara bersamaan. Namun
sebagai pembeda dari film sejenis Peyton mengambil satu atau dua detil adegan yang mudah diingat oleh
penonton nantinya. Contohnya ketika di udara Ray melirik ke bawah melihat persimpangan jalan bebas hambatan diam-diam runtuh, atau pengambilan shot panjang ketika Emma berada didalam bangunan
tinggi bersamaan dengan para pelayan dan
tamu panik mencari keselamatan. Ya, meski Brad Peyton mengarahkan tema bencana alam adalah untuk pertama kalinya tetapi harus diakui dirinya berhasil membuat
filmnya ini terlihat alami yakni bagaimana mengambil angle
dari jarak dekat, bukan dari angle jauh.
San Andreas sangat ingin membuat audiensnya merasakan ketakutan yang sama yang dialami ketika seluruh kota dihancurkan oleh kekuatan alam di luar kendali manusia, sekaligus juga benar-benar ingin membuat audiensnya berpikir
apakah Ray bisa menyelamatkan pernikahannya hingga dipenghujung cerita. Karena memang begitulah
yang diinginkan oleh sutradara Brad Peyton bersama penulis Carlton Cuse bertujuan untuk
keduanya. Performa sang tokoh utama di film ini Dwayne Johnson a.ka. The Rock sebagai seorang ayah
yang merasa bersalah atas kejadian dimasa lampau membawa dirinya harus tampil
menangis didepan kamera, sangat jarang bukan. Sementara itu Paul Giamatti sebagian besar muncul untuk
menguraikan ilmu seismologi yang
sedang diperdebatkan.
Alexandra Daddario yang terus-menerus –entah disengaja
atau tidak- mempertontonkan ,maaf,belahan dadanya tidak peduli situasi atau
adegan, dalam usahanya mencapai keselamatan.
San Andreas bukan tentang kekacauan bencana alam
dalam skala kecil, malah sebaliknya gempa
pertama yang sudah terjadi membuat gempa selanjutnya dalam skala Ritcher lebih
besar dari sebelumnya. Sekali lagi audiens diajak bersama
melakukan perjalanan dengan Dwayne Johnson ke
jantung kota gempa. Adalah sebuah
nasib keberuntungan yang dibawakan secara berlebihan ketika situasi semakin memburuk disaat
bersamaan ditutupi oleh tontonan CGI mengambil prioritas di
atas fakta
ilmiah. Diluar nalar tersebut, San Andreas
termasuk salah satu film bencana alam terbesar
akhir-akhir tahun ini- masih ingat film “2012” arahan Roland Emmerich yang filmnya
begitu menggemparkan seluruh dunia termasuk di Indonesia khususnya-yang telah absen dari tema film
bencana alam.
0 komentar:
Posting Komentar