Kamis, 26 Maret 2015

Tracers

 
Sutradara: Daniel Benmayor, 2015

Cam (Taylor Lautner) adalah warga kota New York yang memiliki pekerjaan sebagai seorang kurir sepeda dimana  tugasnya mengantarkan dokumen bisnis. Karena tak sanggup membiayai ibunya yang sedang sakit, ia terpaksa memimjam uang dalam jumlah sangat besar ,$15.000 kepada salah satu mafia Cina. Setiap hari, ia didatangi oleh debt collector Jerry (Johnny Wu) dan Hu (Sam Medina) untuk segera melunasi hutangnya. Pada suatu hari dalam menjalankan pekerjaanya, ia tak sengaja bertemu dengan Nikki (Marie Avgeropoulos), seorang parkour gadis muda belia. Keesokan harinya, ia melihat Nikki lagi. Dari sini Cam kemudian berkenalan dan lebih dekat dengan Miller (Adam Rayner), yang merupakan pemimpin sebuah geng parkour.

Alur cerita yang diutarakan dalam film ini jelas bukan menjadi tujuan utama yang ingin disampaikan kepda penontonnya. Tracers memiliki alur cerita yang terburu-buru dengan akhir yang tergesa-gesa pula. Karakter tokoh yang tampil disini tidak diberi waktu lebih untuk diceritakan, sehingga mereka tampil tanpa penjiwaan alias hampa. Ada garis tipis antara apa itu yang disebut cerita sederhana dengan plot yang disederhanakan. Tracers cenderung dengan yang kedua. Meskipun dipasarkan sebagai drama aksi, film tidak cukup baik dalam hal sisi drama. Itu mungkin tidak menyalahkan mengapa Taylor Lautner dinominasikan berkali-kali, dan bahkan memenangkan beberapa kali di Golden Raspberry Awards. Hubungan chemistry 2 (dua) insan muda antara Nikki dan Cam di layar kurang menjiwai.

Karena jelas sekali yang menjadi daya tarik Tracers tak lain adalah aksi/ atraksi parkour-nya. Hampir seluruh film dihabiskan untuk sekuens parkour, drama percintaan itu hanya sebagai selingan saja. Sutradara Benmayor dibantu oleh sinematografer Nelson Cragg (serial TV Breaking Bad) dan penulis cerita, Matt Johnson (Into The Blue, Torque) berusaha menggambarkan kisah perjalanan Cam dan gengnya belajar serta melatih Parkour sampai pada akhirnya membawa mereka dalam tindakan kejahatan. Dengan memakai kamera GoPro penonton dibuat seakan lebih dekat dengan karakter yang ada didalamnya -diambil secara close-up dan pada kesempatan lain diambil secara long shots melihat mereka berlarian di atap dan juga saat adegan di kapal.Cukup keren.

Terhitung ada 3 (tiga) film yang menampilkan parkour, mulai dari 'Yamakasi' (2001), 'District B13' (2004) dan 'Brick Mansions' (2014). Dari ketiga film tersebut yang dikenal sebagai pertama dan masih menjadi film terbaik untuk tema parkour adalah film Perancis District B13 arahan Pierre Morel dengan didampingi oleh si penulis film aksi Luc Besson, yang menggunakan setting waktu dystopian sebagai alasan untuk mengirim bintangnya, parkour "profesional" David Belle, berlari meskipun banyak bangunan kosong dan kumuh. Sehingga jika dibandingkan Tracers masih belum bisa menyamai kualitas yang sudah dimiliki oleh District B13. Kebanyakan penonton yang melihat film Tracers satu-satu alasannya adalah melihat tampang dan bodi kerennya Taylor Lautner setelah lepas dari film Saga Twilight yang membuat namanya terkenal sebagai salah satu aktor muda tampan Hollywood. 

Sabtu, 21 Maret 2015

Insurgent

Sutradara: Robert Schwentke,2015

Hampir sama dengan kebanyakan film adaptasi YA (Young Adult), Divergent bercerita atau bersettingkan tentang masa depan- kota dystopian yang tertutup dari dunia luar. Kota ini dibagi menjadi lima faksi: “Candor” adalah untuk kaum jujur, “Abnegation” adalah untuk kaum penolong tanpa pamrih, Amity adalah untuk kaum pencinta damai, Dauntless untuk kaum pemberani dan “Erudite” untuk kaum berpengetahuan. Setiap orang dibesarkan dalam faksi keluarga mereka, tetapi pada tahun keenam belas, mereka harus memilih faksi melalui ajang tes bakat. Sang tokoh utama wanita, Beatrice Prior, lahir ke dalam faksi “Abgenation”, tapi dalam tahap pengujian dia memiliki lebih dari satu bakat, keadaan ini disebut dengan “Divergent”.  Seharusnya meski kota ini terbagi beberapa faksi namun tetap tercipta perdamaian, tetapi kenyataannya tidak demikian. Pemimpin “Erudite” Jeanine memiliki pemikiran lain kalau kaum “Divergent menimbulkan ancaman bagi masyarakat secara keseluruhan. Beatrice Prior diperingatkan untuk menyembunyikan hasil testnya dan memutuskan untuk bergabung dengan faksi Dauntless. Di sini dia berubah namanya menjadi Tris.

Insurgent menyambung beberapa hari setelah peristiwa Divergent denganTris Prior (Shailene Woodley), pacarnya sekaligus mentornya Four (Theo James), kakak Tris- Caleb (Ansel Elgort) dan kawannya Peter (Miles Teller) dalam pelarian setelah orang tua Prior dan hampir keseluruhan faksi “Abnegation” dibunuh oleh Jeanine (Kate Winslet). Tak mau berpangku tangan Tris dkk melakukan serangan balasan. Atas serangan balik inilah digunakan oleh Jeanine sebagai alasan utama untuk memburu mereka semua untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka (baca: faksi Dauntless). Pahlawan kita akhirnya berlindung diantara kalangan masyarakat tersisih, orang-orang "Tanpa Faksi" yang mana pemimpinnya adalah Evelyn, secara kebetulan adalah ibu kandung Four. Kemudian plot utama sekuel ini berkembang kepada bahwa Jeanine telah berhasil mengambil sebuah kotak khusus berisi pesan yang ditinggalkan oleh Para Pendiri Kota. Dengan catatan kotak ini hanya bisa dibuka oleh Divergent murni, dengan kata lain jika bukan Divergent murni akan meninggal dunia.

Berbicara visualisasi, film ini benar-benar menakjubkan. Robert Schwentke ("Red","Flightplan"),-yang mengambil kendali penyutradaraan dari Neil Burger- terkenal akan spesialisasi film-film action, ia juga berhasil mengemas sekuel kali ini penuh aksi . Ingat adegan simulasinya? Mengingatkan kita kembali filmnya Keanu Reeves, The Matrix trilogi. Ya,"Insurgent" menawarkan segi aksi lebih banyak dibanding predecessornya yang mana kebalikan dari Divergent yang lebih menitikberatkan sisi interaksi manusia. Setidaknya ada dua sekuens yang layak mendapatkan perhatian lebih. Yang pertama adalah kemunculan faksi Candor akhirnya diperkenalkan dengan Daniel Dae Kim ( serial TV "Lost" dan "Hawaii Five-0") sebagai Ketua mereka. Satu sentuhan yang cukup bagus: Para anggotanya semua berpakaian hitam dan putih, karena tidak ada wilayah abu-abu saat kejujuran dilibatkan, tentunya. Yang kedua adalah ketegangan dgn jelas terasa ketika Tris dan Four dibawa ke pengadilan dan disuntik dengan serum kebenaran, memaksa mereka untuk menjawab beberapa pertanyaan yang sulit.

Seperti yang ditulis pada paragraph sebelumnya, sementara sekuens aksi tampak nyata di sepanjang film dan ini yang menjadi nilai lebih Insurgent, sayangnya film kurang memanfaatkan aktor untuk memaksimalkan potensi akting pemainnya secara maksimal. Saya mendapatkan sekilas dari akting Woodley selama adegan interogasi yang sangat emosional bagi karakternya. Kemampuannya untuk benar-benar menyelami perannya tidak dapat diabaikan begitu saja. Bahkan sifat karakter Winslet di film ini sebagai Jeanine laksana baja, sangat tepat, meskipun hanya memiliki sedikit adegan yang membutuhkan emosi atas perannya. Para pemain lainnya yang cukup memancing emosi adalah Miles Teller yang berperan sebagai Peter diberi kesempatan untuk menunjukkan bakat akting di installment kali ini, ya bagi yang sudah menonton film Whiplash akan tahu bagaimana bagusnya kualitas akting si Miles Teller. 

Dengan durasi 119 menit, "Insurgent" bergerak lebih cepat daripada 139 menitnya "Divergent," apakah mungkin ini karena ditangani dan dipahami dari sudut pandang bergantinya sutradara. Dengan beberapa penyesuaian, mood film ini dibawa ke arah lebih serius serta ditambahkannya unsur kejutan didalamnya. Pribadi Tris terus maju dan bergerak, menghadapi rasa bersalahnya sambil melakukan apa yang dia harus lakukan untuk mengakali sifat jahat si“Erudite”. Jelas, Insurgent sebuah  film aksi yang besar dan dalam banyak hal lebih baik dari Divergent. Ini menggabungkan perjalanan emosi yang rumit dengan aksi disana sini dan akhir cerita sangat memuaskan. Ini akan membuat Anda tertarik untuk mencari tahu apa yang terjadi selanjutnya yang tidak dibuat dalam satu, tapi dua bagian film. Apapun mungkin akan terjadi di "Allegiant," itu akan menjamin empat jam lebih waktu berjalan?. Akhir kata, mengutip salah satu kata yang diucapkan oleh Tris di akhir cerita " What's now?", penonton pun begitu antusias menunggu kelanjutannya.


Kamis, 12 Maret 2015

Birdman

Sutradara: Alejandro Gonzalez Inarritu, 2014

Sebagai seorang aktor dan seniman, Riggan (Michael Keaton) telah mencapai titik sebuah kesuksesan. Dirinya terkenal sebagai aktor pemeran 'Birdman' di tiga film pertama dari franchise superhero Hollywood. Tidak ingin lagi didefinisikan sebagai Birdman. Riggan akan menunjukkan kepada dunia bakat sebenarnya yang ia miliki, menampilkan acara Broadway dengan mengadaptasi sebuah cerita pendek, "What We Talk About When We Talk About Love" karya Raymond Carver.

Dibelakang layar acara Broadway-lah cerita mulai bergulir. Penonton disuguhi segala macam problem kehidupan Riggan mulai dari putrinya yang baru direhabilitasi dari ketergantungan narkoba (Emma Stone, Spider-Man), dicampakkan oleh mantan istri ( Amy Ryan, Escape Plan) yang membuatnya merasa layaknya pria/suami brengsek, aktor (pengganti) pemeran utama pria ( Edward Norton, The Grand Budapest Hotel) mencuri headline-nya, dan salah satu aktris wanitanya ( Andrea Riseborough, Oblivion) ​​baru saja mengatakan kepadanya dirinya sedang hamil. Belum lagi dari pihak luar seorang kritikus theater The New York Times (Lindsay Duncan, Le Week-End) akan hadir pada malam pembukaan, dan dia tak segan memberikan review cukup pedas atas pementasan tersebut.

Salah satu keunggulan dalam film ini adalah dalam hal visualisasinya, ya tak heran kalau ini ditampilkan oleh sang kameramen jenius, Emmanuel Lubezki- pemenang Oscar untuk film Gravity- untuk memberikan penonton perasaan bahwa film ini diambil secara terus menerus tanpa putus (one take scene). Karya Lubezki kali ini tetap sama mempesonanya -walau bukan di luar angkasa-, terutama dengan caranya mengaburkan garis antara realitas dengan ilusi dan kembali lagi tanpa jeda. Jadi ketika Riggan terbang di atas Manhattan dan sedikit sulap dari jari-jarinya, kita juga hidup dengan visi gila di kepalanya. Coba saja lihat adegan di menit pertama, Riggan melayang di ruang gantinya dan berdebat dengan suara Birdman (Keaton dalam suara rendah), yang mengatakan kepadanya dia terlalu baik untuk theater perdananya tersebut.

Birdman berbicara tentang kesombongan, ego dan yang terpenting adalah "ketidaktahuan", dipakai pada judul film versi panjangnya - Birdman or (The Unexpected Virtue of Ignorance). Riggan tidak bisa menemukan dirinya dalam dunia yang tidak mengerti akan dirinya dan Keaton memainkan karakter ini dalam batas maksimal. Iringan drum oleh Antonio Sanchez mengisi setiap adegan dengan penuh semangat  mengikuti performa kekhawatiran Riggan dan visi sutradara Alejandro Gonzalez Inarritu benar- benar didukung oleh sinematografi Emmanuel Lubezki sesuai presentasi karyanya. Ini adalah sebuah film yang mengajukan pertanyaan tentang keterkaitan, "apa yang seharusnya dan apa yang tidak seharusnya?" dan "Apakah itu kesuksesan dan jika Anda tidak berhasil meraihnya/gagal apakah itu lantas membuat Anda menjadi tidak puas/ bangga dengan apa yang sudah Anda lakukan?." 



 

Jumat, 06 Maret 2015

Chappie

Sutradara: Neill Blomkamp, 2015

Deon Wilson (Dev Patel) adalah seorang insinyur muda yang bekerja di Perusahaan Tetra Vaal, sebuah perusahaan robotika yang telah mengembangkan armada polisi robot  yang  hampir tidak bisa dihancurkan. Berkat mereka lah, tingkat kejahatan di Johannesburg turun drastis dan otomatis keuntungan perusahaan meningkat, sesuatu yang menyenangkan terutama bagi Presiden Tetra Vaal  Michelle Bradley (Sigourney Weaver). Di lain pihak Deon memiliki musuh dalam selimut, Vincent Moore (Hugh Jackman), seorang insinyur yang sedang menciptakan sendiri  sebuah fighting robot yang dinamakan The Moose.  Deon sendiri sebenarnya masih belum cukup puas dengan robot hasil ciptaannya “Scout”, dia ingin lebih dari sekedar robot penegak hukum. Dia ingin menciptkan sebuah robot yang dapat berpikir, merasa dan memiliki kesadaran. Ide ini ia sampaikan ke Michelle tetapi ditolak dengan alasan membuang-buang waktu. Setelah menyempurnakan programnya, Deon melarikan diri  Scout 22 ,salah satu tubuh seorang droid cacat yang sebenarnya akan dibuang ke dalam tumpukan sampah. Dan layaknya  Dr. Frankenstein ia berhasil menciptakan seorang robot berhati manusia dalam tubuh mesin, Chappie.
Tema cerita yang ingin diutarakan sekaligus menjadi kekuatan dari Chappie adalah tentang realita kehidupan di dunia nyata sekarang ini, yang dengan cara halus menyinggung sedikit masalah  kelas ekonomi  dan inilah kesempatan yang dieksplor oleh sang sutradara,Blomkamp. Diwujudkan dalam karakter  Deon, Ninja (Ninja), Amerika (Jose Pablo Cantillo) atau Yolandi (Yo-Landi Visser) benar-benar mengerti berapa banyak kepribadian yang oleh Chappie pelajari tentang baik buruknya dunia, dan itulah seperti orang tua yang melihat nilai-nilai mereka tercermin dalam kepribadian anaknya. Seperti dalam “District 9 dan Elysium, Blomkamp menggunakan efek simultan dalam menghadirkan gambaran seorang robot yang dapat berjalan serta bergerak secara alami alias tidak kaku seperti film robot lainnya selama ini. Dan, kepribadian Chappie yang begitu luwesnya ini, sukses dibawakan oleh Copley  memberikan kinerja yang luar biasa dalam hal meniru fisik para lawan bicaranya apalagi pola vokal. Meskipun ada beberapa dialog si Chappie tidak dapat terdengar jelas, namun tetap saja yang menarik penonton  di film ini adalah kehadiran sosok Chappie, penuh humanis yang layak bebas berpikir dan bertindak.
Ada beberapa kisah hebat- mulai dari masa kanak-kanak, tentang orang tua, tentang datang ke dunia dalam keadaan masih “polos”- terkubur di dalam Chappie, tapi ada kekurangannya. Boleh dibilang ini adalah sebuah film drama komedi tentang seorang robot yang terikat oleh satu janji dengan “sang penciptanya” dan malah ingin hidup abadi. Aneh. Jelas berbeda dengan beberapa film kebanyakan yang  dituturkan dalam durasi dua jam. Segala ide tentang film ketiga Blomkamp kelihatan begitu lambat walau ada humor disana-sini namun kemungkinan kalian memohon untuk segala sesuatu diturunkan sedikit. Sebagai studi karakter, ini bisa menjadi bagian yang kuat dari cerita, tapi akhirnya terasa lebih seperti filmnya Michael Bay dan masih berada jauh kualitas ceritanya dengan District 9. Jadi, jika kalian ingin menonton film penuh aksi laga robot lebih baik urungkan saja, tetapi jika ingin menonton robot dengan tampilan gaya berbeda. Cool. Tidak salah untuk coba ditonton diakhir pekan ini.