Minggu, 25 Januari 2015

Seventh Son

Sutradara: Sergey Bodrov, 2015

Hanya bertahan 10 (sepuluh) tahun seorang Pemburu bernama Gregory (Jeff Bridge) memenjarakan Ratu Sihir, Bunda Malkin (Julianne Moore) di kedalaman bawah tanah. Karena anak didiknya Bradley (Kit Harington) meninggal dalam tugasnya melawan kekuatan jahat Malkin, membawa Gregory menemukan anak ketujuh dari anak ketujuh. Adalah Tom Ward (Ben Barnes), seorang remaja terlahir dari keluarga peternak yang terpilih dan oleh darinya Tom belajar banyak tentang penyihir dan bagaimana cara melawan sihir. Waktu mereka berdua untuk menghentikan Malkin sangat sedikit, hanya sampai bulan darah berikutnya, sebelum dunia berubah menjadi kegelapan untuk selamanya.

Dari plot cerita diatas film arahan Sergei Bodrov ini selain melibatkan dunia fantasi: Seventh Son tampak juga seperti campuran Van Helsing dan Buffy the Vampire Slayer, yang mana unsur fantasi sebagai latar belakangnya. Bahkan kalau dari penulis film ini menyerupai dengan film Hansel and Gretel:Witch Hunters (2013) hanya bedanya disini sang lakon utama statusnya bukan sebagai satu saudara melainkan antara sang mentor dengan anak didiknya. Pengambaran alam semesta dalam adaptasi Delaney ini meski tidak semegah film- film fantasi lainnya namun melalui kecanggihan digital Bodrov masih berhasil untuk memberikan beberapa adegan terbaiknya, seperti serangan pasukan Bunda Malkin ke kota, di mana ia menunjukkan ketrampilan yang berharga dalam membangun ketegangan dalam mengubah skala yang sedikit berbeda .

Beberapa aktris/aktor internasional yang berperan di film ini ada yang tampil maksimal ada juga yang sebaliknya. Sebagai contoh Antje Traue - antek Zod di Man of Steel - yang berperan sebagai saudara kandung BundaMalkin dalam satu sisi memalukan dan dilain waktu mematikan. Tidak terlalu jauh dari dunia "Narnia" yang ia perankan dalam dua seri, Ben Barnes mencoba karakter tokoh yang sama sebagai protagonis laki-laki dan memberikan kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan peran dia di tahun 2009, Dorian Gray. Julianne Moore yang sangat disayangkan penampilan karakter antagonis yang ia perankan disini sangat kelihatan tidak maksimal sekali berbeda jauh dengan karakter yang pernah ia perankan. Pada akhirnya, hanya Jeff Bridges tampaknya tahu apa yang harus dilakukan dengan karakternya, perpaduan antara orang tua pemabuk dan seorang guru pemarah namun lucu.

Satu lagi novel YA (=Young Adult) dibuat versi layar lebarnya, kini tiba giliran novel karangan John Delaney "The Spook Apprentice", seri pertamanya berjudul sama dengan filmnya " The Seventh Son" Setelah sekian banyak novel YA disajikan kita tentu tahu bahwa untuk mengadaptasi sebuah buku/novel/game tidak segampang yang dipikirkan. Menerjemahkan visualisai dari imajinasi ke gambar hidup itu poin terkuat sekaligus poin lemahnya. The Seventh Son dalam perjalanannya sempat mengalami penundaan tanggal rilis beberapa kali dari yang semula dijadwalkan pada Februari 2013. Hal seperti ini bukanlah pertanda baik dalam dunia perfilman. Belum lagi ada perbedaan antara novel dengan filmnya. Jika mau di croscek novel ini sebenarnya memiliki atmosfer creepy/ menyeramkan namun pada filmnya dibuat ke arah fantasi. Tom dan Alice dalam novel keduanya pra-remaja, tapi difilm dibuat lebih dewasa. Jadi bagi pembaca novel pasti akan kecewa menonton versi  layar lebarnya namun tidak demikian bagi yang belum membaca novelnya. Kesimpulannya tanpa harus melihat sisi kekurangannya, enjoy saja toh ini film kategori popcorn movie yang pas kalau ditonton di hari weekend sebagai pelepas lelah setelah hanpir seminggu sekolah/kerja di kantor.

   

Rabu, 14 Januari 2015

The Woman In Black 2: Angel of Death

Sutradara: Tom Harper, 2015

Diceritakan pada tahun 1941 kota London bukan lagi tempat yang terbaik dan atau tempat teraman untuk ditinggali karena saat itu sedang terjadi Perang Dunia ke-2. Untuk kegiatan belajar mengajar pasti terhambat, maka oleh Jean (Helen McCrory) dan Eve (Phoebe Fox) yang menjabat Kepala Sekolah dan seorang guru mengumpulkan beberapa murid mereka keluar menuju pedesaan. Diantara murid tersebut ada seorang anak laki-laki bernama Edward (Oaklee Pendergast) yang mana kedua orang tuanya baru saja meninggal dunia pada malam hari sebelumnya terjadi pengeboman dan dia tidak banyak berbicara kepada siapapun. Sayangnya, tempat tinggal yang mereka tempati untuk sekolah adalah rumah dari film pertama The Woman In Black (2012), "Eel Marsh House".

Mengambil setting waktu 40 tahun setelah peristiwa di film pertama memungkinkan The Woman In Black 2: Angels of Death untuk memperkenalkan pemain/ karakter utama baru. Sang Kepala Sekolah adalah istri seorang perwira tapi ada kecemasan mengenai keadaan putra/putrinya. Eve melakukan yang terbaik untuk memancarkan sikap positif, tapi dia juga memiliki masa lalu yang kurang baik. Semangat hidup Eve sedikit bersemangat atas kehadiran seorang pilot bernama Harry (Jeremy Irvine), namun ia memiliki kenangan sedih.Ya, kini tidak ada warga setempat yang memperingatkan tentang bahaya yang mengintai dalam rumah tua tersebut. Apalagi dengan situasi negara dalam keadaan perang, para wanita dan anak-anak memahami secara intuitif bahwa masalah mereka tidak sebesar yang dihadapi kecuali pikiran mereka sendiri. Mau tidak mau mereka akan tinggal.

Mengambil setting lokasi rumah berhantu dalam sebuah film bergenre horror thriller gampang tapi susah. Kalau sekedar mengandalkan kejutan teriakan sesaat dari penonton, itu masih biasa-biasa saja karena tidak lama juga menghilang dalam ingatan penonton. Pemilihan suasana lingkungan/ atmosfer yang mendukung supaya bekerja lebih mencekam lebih tampak nyata, ini yang terpenting. Sebuah film horor yang bagus adalah membuat penonton tak mengira adegan mana yang menakutkan dan disaat yang sama kalian akan terkaget, jump scare itu istilahnya. Jika diaplikasikan persyaratan pertama diatas sudah mendukung/ malah terpenuhi dengan setting-an jaman dulu. namun untuk persyaratan kedua ,sutradara Tom Harper dan pihak produksi di belakang layar tidak terlalu percaya diri dalam materi mereka, sehingga hasilnya mereka hanya mengandalkan formula kejutan demi kejutan yang bisa ditebak.

Harus dikatakan untuk sekuel kali ini adalah belum dan masih jauh melebihi seri pertamanya baik itu dari segi pengembangan ide cerita maupun pemilihan aktor/aktrisnya. Phoebe Fox, sebagai guru Eve Parkins, cukup layak. Karakter Jeremy Ervine sebagi seorang pilot, Harry Burnstow kehadirannya tak memberi arti lebih. Sisa aktor lainnya hanya sebagai pendukung cerita. Bahkan satu karakter pendukung diadakan untuk menambah ketakutan tetapi nyatanya malah terkesan "murahan" dalam satu adegan, seperti pria buta tunawisma menyeramkan. Klimaks ceritanya benar-benar tidak masuk akal dan tidak memuaskan. Film ini jelas kebalikan dibandingkan dengan bagian 1, dimana waktu itu kita masih enjoy menghabiskan beberapa jam di akhir pekan di kursi bioskop apalagi adegan klimaks yang benar- benar mengejutkan dan "menyenangkan".

The Woman In Black 2 adalah film horor yang terbagi menjadi 2 kubu. Ini adalah jenis film yang bisa menjadi rekomendasi kepada teman-teman kalian pada saat mereka sedang mencari "sesuatu yang menakutkan!". Sebuah film horor yang hantunya terlihat lebih ramah daripada hantu di film horror lainnya. Adalah sebuah pengalaman film menakutkan yang sempurna. Sementara kubu satunya adalah dapat melewatkan yang satu ini (atau lebih baik lagi menonton ulang seri pertamanya).

 





Minggu, 11 Januari 2015

The Crossing: Part 1

Sutradara: John Woo, 2014


Pada tahun 1945, tentara China yang dipimpin oleh Jenderal Yi Lei Fang (Huang Xiaoming) dalam tugasnya mengalahkan tentara Jepang. Tong Da Qing (Dawei Tong), salah satu tentara China yang bertugas memberi sinyal berhasil menangkap Yan Ze Kun (Takeshi Kaneshiro), seorang dokter Taiwan yang bekerja untuk tentara Jepang. Setelah perang berakhir, tiga pria ini memulai jalan kehidupannya masing-masing. Lei kembali ke Shanghai dan menikah Zhou Yun Fen (Hye Kyo-Song) yang berasal dari keluarga kaya. Yan kembali ke Taiwan hanya untuk mengetahui bahwa kekasihnya, Noriko (Masami Nagasawa), telah dipulangkan ke Jepang. Adapun Tong, ia jatuh cinta dengan seorang perawat, Yu Zhen (Zhang Ziyi). Untuk sementara hidup tampaknya tenang sampai perang saudara China pecah. Kekuatan tiga pasang insan manusia ini kembali teruji diantara peperangan.

Dengan durasi 2 jam oleh Wang Hui-Ling ( Crouching Tiger Hidden Dragon dan Lust, Caution) sebagai penulis cerita dipergunakan untuk memperkenalkan penonton dengan semua tokoh kunci sebelum mereka berkumpul di "Bagian 2",Yi Fang, Yu Zhen dan Ze Kun -yang semuanya memikiki satu harapan yakni dapat bertemu kembali dengan cinta mereka- disajikan secara saling bergantian. Keberatan ibu Ze Kun atas hubungan putranya dengan Noriko hanya diberikan sepintas, dan tidak pergi lebih jauh melampaui fakta bahwa Noriko adalah dari ras yang sama dengan imperialis Jepang. Tekad Yu Zhen untuk bertemu kembali dengan kekasihnya di garis depan pertempuran paling menarik perhatian karena ia bersedia bekerja apapun termasuk mengorbankan tubuhnya dengan tujuan menyimpan cukup uang untuk membeli tiket Taiwan di mana kekasihnya berada disana. Sementara kisah cinta Yi Fang tak lebih seperti kisahnya Jack Dawson dengan Rose DeWitt Bukater dalam film Titanic (1997) milik James Cameron.

Mengingat bahwa Bagian Pertama pada dasarnya menekankan genre drama- walau masih dalam konteks aksi perang- penampilan akting/cara membawakan karakter tokoh dari aktor aktris yang terlibat dalam film ini  menjadi poin penting. Huang Xiaoming memberi kredit tersendiri atas performa menjadi seorang militer dan juga menjadi seorang suami yang penuh kasih sayang  merindukan kehadiran istrinya. Song Hye-kyo disini terlihat diberikan sedikit kesempatan untuk memaksimalkan kualitas aktinya tapi tunggu dulu sepertinya nanti di Bagian Kedua pergolakan emosinya ada disana.

Bukan rahasia lagi bahwa 'The Crossing' adalah proyek ambisius John Woo, seorang sutradara veteran Hong Kong, yang memutuskan membagi film The Crossing dalam dua bagian, ya tentu dengan harapan penonton dapat mengembangkan karakter sebelum mereka bertemu di akhir tragis pada papan Taiping. Sebelum sampai ke bagian tragis tadi penonton sudah dibuat terharu pada salah satu adegan pengiriman cincin dari salah satu tentara China untuk anggota keluarganya yang sedang mengalami kesulitan keuangan. Sementara pengambilan adegan terbangnya beberapa burung merpati putih mengingatkan penonton pada film Woo sebelumnya, Mission: Impossible II. Akhir kata, melihat bagaimana ada sedikit perbedaan pada penutup bagian pertama ini daripada film Woo sebelumnya Red Cliff penulis berharap Woo akan mengambil bagian dan menempa perjalanan lebih menarik pada bulan Mei mendatang


Kamis, 01 Januari 2015

Gone Girl

Sutradara: David Fincher, 2014

Gone Girl bermula dari penyelidikan polisi lokal terhadap kasus orang hilang. Orang hilang yang dimaksud disini adalah Amy Dunne (Rosamund Pike), yang pindah dari New York City ke Missouri bersama suaminya Nick Dunne (Ben Affleck) demi memberikan semangat karena ibu mertuanya yang baru saja meninggal dunia. Ia menghilang di pagi hari tepat di hari ulang tahun pernikahan mereka yang kelima. Salah satu tersangka utama otomatis adalah suaminya. Benarkah demikian?

Apa dan siapa penyebab Amy menghilang, cerita dialurkan maju mundur dan dalam terstruktur rapi. Antara Nick di masa kini berikut kejadian-kejadian yang mengikuti atas laporan dirinya tentang menghilangnya sang istri dengan sebuah cerita yang ditulis oleh Amy sendiri dalam satu buku harian. Gone Girl membangun ketegangan perlahan-lahan dari tingkat tertentu hingga satu tingkat paling krusial yang sebelumnya masih "berdiam diri". Sejak saat itu, ketegangan berlipat karena segala sesuatu yang telah kita lihat saat itu menjadi lebih gelap dan lebih menakutkan.

David Fincher dengan leluasa memberikan "hiburan" penonton melalui film favoritnya bergenre drama thriller misteri kejahatan lokal Gone Girl, berdasarkan novel laris Gillian Flynn, yang juga menulis skenario, adalah sesuatu yang tidak terkatakan. Aturan paling penting tentang Gone Girl? Jangan pernah membocorkan kesenangan dari spoiler-nya bagi penonton yang belum menontonnya. Jadi, seperti Nick Cave berkata di menit awal, "mari saya ceritakan tentang seorang gadis." Gadis itu bernama Amy Dunne dan ini adalah filmnya. Ya, cukup sampai disitu dulu toh yang penting selama dua setengah jam, Gone Girl tidak pernah bergerak cepat dan tidak pernah melambat sedikitpun.

Penulis sendiri belum membaca novel-novel karya Flynn, jadi tidak yakin berapa banyak relevansi budaya yang saat itu berlaku, tapi harus menganggap itu memiliki lebih dari adil mengingat dia tampak berkolaborasi dengan Fincher terhadap seluruh jalannya proyek film ini. Tentu, kita dapat menemukan jawaban misteri di tengah film dan bagaimana hal itu akan berakhir, tetapi di saat itu juga seakan-akan mereka berbicara tentang sesuatu yang jauh lebih dalam dari plot itu. Berbicara tentang pentingnya membangun dasar dari sebuah ikrar pernikahan. Kejujuran dan saling terbuka terhadap pasangannya.

Ending-nya pasti akan menjadi kontroversial, tetapi itu menyimpulkan segala sesuatu yang terjadi sebelumnya (awal-pertengahan) dengan cara yang indah dan tak terduga. Seiring dengan penampilan para pemain yang brilian, ini adalah salah satu film harus kalian tonton. Gone Girl is dark, intelligent, and impactful. Sangat dianjurkan!. Mengingat ini adalah satu film yang rilis di tahun 2014 lalu yang sayangnya entah alasan apa akhirnya tidak jadi tayang di Indonesia. Dan, bagi yang sudah menonton akan menemukan alasan tadi. Full frontal.