Minggu, 30 November 2014

Exists

 Sutradara: Eduardo Sanchez, 2014

Seperti kebanyakan film dokumenter biasanya diawali dengan perjalanan. Tiga jejaka muda, Brian (Chris Osborn), Todd (Roger Edwards), dan Matt (Samuel Davis), bersama dengan teman-teman wanita mereka Elizabeth (Denise Williamson) dan Dora (Dora Madison Burge) menuju pedalaman hutan Texas dimana mereka akan menikmati liburan dalam kabin di dalam hutan ini. Adalah salah satu dari mereka, Brian adalah penggemar YouTube jadi kemanapun berada selalu membawa koleksi kamera video untuk mendokumentasikan setiap momen dalam perjalanan. Masalah dimulai ketika saat mengemudi dimalam hari mobil mereka menghantam sesuatu yang diduga adalah binatang, tetapi hasil rekaman Brian tampak itu bukanlah binatang pada umumnya.  

Eduardo Sánchez bukan nama sutradara baru dengan film-film bertema found-footage, sebagai pengingat ia yang menyutradarai salah satu film fenomenal tahun 1999, The Blair Witch Project. Dengan bekal itu, ia masih terbukti bisa menyulap suasana tegang menggunakan suara-suara menakutkan serta bayangan siluet. Tokoh utama memutar ulang rekaman kejadian sembari berkata "Lihat! Di sana! Apakah itu yang bergerak di ujung sana? "Beberapa penonton tidak diragukan lagi akan tutup mata telinga untuk mengantisipasi berbagai efek kejutan yang telah disiapkan oleh Sánchez. Kadang-kadang hanyalah canda gurau antara Brian dengan kawan-kawannya tetapi di saat tak terduga itu adalah Sasquatch sendiri, melemparkan beberapa raungan menakutkan di tengah malam.  

Disisi lain pasca The Blair Witch Project, Sanchez sendiri masih berkiprah dari genre film kegemarannya ini. Semisal menjabat sebagai co-director seri mockumenter "ParaAbnormal" (dengan Nash) dan segmen zombie sepeda-helm-cam di "S-VHS" (dengan Gregg Hale). Exists sendiri yang notabene merupakan film panjang keduanya sayangnya kurang menggali lebih banyak hal fundamental tentang found-footage alias belum bisa menyamai dari film pertamanya. Penonton hanya melihat seperti yang Brian lihat  membawa kamera di setiap sudut (termasuk sepeda dan helm) untuk mendapatkan berbagai gambaran pada setiap perselisihan, pertikaian dan kematian, bahkan mengapa teman-temannya tidak memberitahu dia untuk berhenti merekam ketika hal-hal aneh terjadi dan membantu mereka untuk bertahan hidup.  

Sejumlah film menggunakan monster sebagai metafora untuk penyakit yang lebih menakutkan, namun Exists salah satu karya terbaik ketika yang lebih menakutkan tadi ditampilkan melalui sudut pandang orang pertama via kamera GoPro. Meskipun menempatkan kamera amatir, ada dua urutan ketegangan dilakukan dengan baik. Pertama: yang melibatkan ruang bawah tanah (mengingatkan salah satu adegan di film The Evil Dead), yang kedua adalah ketika mobil RV akan dijatuhkan ke jurang (mengingatkan salah satu adegan di film Jurassic Park: The Lost World). Dengan durasi 80 menit, Sánchez masih mendapatkan kredit karena tidak membuang terlalu banyak waktu bagi penonton yang menonton filmnya ini.

Selasa, 25 November 2014

Horns

Sutradara: Alexandre Aja, 2014


Horns diadaptasi dari novel dengan judul yang sama tahun 2010 oleh Joe Hill, putra Stephen King. Dibintangi Daniel Radcliffe (Harry Potter Saga, The Woman In Black) sebagai Ignatius Perrish (panggilan: Ig), yang menjadi sorotan media massa dari kota kecil tempat tinggalnya ketika pacarnya Merrin  diperankan oleh Juno Temple( Sin City: A Dame to Kill For) ditemukan terbunuh dan dia adalah tersangka utamanya. Tidak lama kemudian, tanduk setan mulai tumbuh dari kepalanya. Pernah sekali waktu tanduk yang masih kecil berusaha dia potong lewat bantuan dokter. Namun apa yang dia ketahui bahwa tanduk yang tumbuh dikepalanya ini bukan bencana melainkan berkat. Tanduk ini memberinya semacam kekuatan paranormal memungkinkan orang-orang yang memandangnya untuk berperilaku dan mengatakan apa yang dipikirkan dan rasakan, termasuk mencari penyebab kematian Merrin, sekaligus membalas dendam pada pelakunya.

Disajikan melalui alur maju mundur antara saat-saat dimana Ig dimasa kini mencari siapa pembunuh pacarnya dengan saat-saat awal hubungan Ig dan Merrin. Transisi dari kedua "nada" yang berbeda sangat penting untuk menerjemahkan adaptasi novel ini yang mana sering beralih dari romantis kemudian kembali ke serius. Namun sayangnya ditangan sutradara Alexandre Aja yang unggul di tema horor berdarah-darah (High Tension, The Hill Have Eyes dan Piranha 3-D) akhirnya membuat Horns melempem tidak maksimal. Horns bukan film tentang gore. Selama hampir dua jam, Horns berjalan terlalu lama dengan segala inkonsisten ceritanya. Satu-satunya penyelamatnya ada nama Daniel Radcliffe yang mana di film ini dirinya telah meyakinkan semua penonton bahwa dia bukanlah "orang yang dipilih lagi".

Baik versi novel dan film sama-sama memiliki gagasan sederhana tentang yang baik dan jahat serta tidak menguraikan cerita detektif yang sulit dipahami, ya ini seperti gambaran Hill pada masing- masing karakter tokohnya ada 'keinginan dan kelemahan", namun ada beberapa perkecualian. Dalam novel, seorang pelayan digambarkan sebagai saksi mata saja, namun oleh Aja digambarkan sebagai seorang pelayan yang ingin terkenal masuk TV. Lebih buruk lagi, Ig dan Merrin yang didalam novel digambarkan sebagai sepasang kekasih yang baik-baik, sedangkan di versi filmnya Merrin digambarkan tidak lebih dari wanita jalang dengan salib di lehernya.

Namun demikian, kalau kalian mengharapkan unsur misteri daripada thriller balas dendam, maka si pelaku pembunuhan yang terungkap di akhir cerita tidak akan terlalu mengejutkan, yang membuat kekecewaan. Meskipun sebaik-baiknya karakter yang coba diperankan oleh aktor/aktris didalamnya, karakter protagonis maupun antagonisnya toh Horns akhirnya tidak sanggup "menandukmu".


Minggu, 23 November 2014

The Hunger Games: Mockingjay Part 1

Sutradara: Francis Lawrence, 2014

Menerjemahkan buku/novel bacaan remaja belasan tahun yang dikenal dengan sebutan YA (Young Adult) ke layar lebar sudah pasti memiliki taruhan besar dalam ruang lingkup meraih keuntungan box office. Selama beberapa tahun terakhir ini terasa sangat sulit bagi setiap novel YA yang sudah difilmkan sanggup menyaingi franchise Harry Potter. Dengan target audience lebih dewasa serta tema yang diusung mengenai politik yang berskenario gelap telah terbukti menjadi kekuatan yang layak diperhitungkan. Itulah konsep yang dibawa Suzanne Collins dalam novel karangannya yang diterbitkan tahun 2008. Seri pertama franchise The Hunger Games kurang emosional yang kemudian terobati di sekuelnya Catching Fire. Mengikuti jejak franchise Harry Potter dan Twilight Saga, novel terakhir ini pun dibagi menjadi dua film yang kayaknya sudah menjadi populer dalam adaptasi YA.

The Hunger Games: Mockingjay - Part I dibuka dengan Katniss Everdeen (Jennifer Lawrence) dibawa ke kamp bawah tanah rahasia di Distrik 13, setelah sebelumnya dirinya diselamatkan oleh kaum pemberontak/ pejuang kemerdekaan  pada akhir pertandingan keduanya, Catching Fire. Mencari seorang juru bicara untuk memimpin pemberontakan mereka melawan penindas mereka, Presiden Coin (Julianne Moore) dan pemimpin pemberontakan Plutarch Heavensbee (Philip Seymour Hoffman) berupaya meyakinkan Katniss menjadi "The Mockingjay", yang memungkinkan dirinya menjadi simbol revolusi untuk mengumpulkan sisa-sisa distrik yang masih ada melawan Capitol dalam pertarungan akhir. Pada skala yang lebih kecil, Katniss bertekad untuk menyelamatkan Peeta dari cengkeraman Presiden Snow (Donald Sutherland), yang mengumumkan satu pernyataan tegas bahwa "semua yang berkaitan dengan "Mockingjay" dilarang".

Jika kalian menonton The Hunger Games: Mockingjay - Part I berharap menyaksikan adegan aksi, kalian akan kecewa melihat drastisnya pada poin aksinya. Seri pertama berikut sekuelnya masih dalam konteks arena permainan mematikan, penonton disuguhi banyak pertarungan demi mempertahankan nyawa pribadi dan atau kelompoknya. Namun, seri ketiga ini lebih banyak mengarah ke politik pemberontakan, sehingga adegan aksi disini kurang banyak "berbicara". Ini semua jelas ditahan untuk bagian akhir dari seri. Untungnya, ada unsur komedi pada karakter Effie Trinket (Elizabeth Banks) terbukti menjadi salah satu penghilang kepenatan menonton film ini. Peter Craig dan Danny Strong yang menjabat sebagai penulis skenario berhasil memberikan guyonan yang terasa alami, sebagai Effie berjuang untuk menyesuaikan diri dengan gaya hidup baru tanpa make-up berlebihan, rambut palsu dan gaun norak. Bagi penggemar TV Series penampilan si Margaery Tyrell dalam Game of Thrones dan si T-Bag dalam Prison Break pastinya merasakan nostalgia  ketika menonton kedua serial TV yang mereka berdua perankan. 

Mengutip salah satu dialog terpenting yang diucapkan Katniss "..I have a message for President Snow: If we burn, you burn with us! " bagian pertama ini menjadi pertanda bahwa di bagian keduanya nanti lebih berapi-api. Ya, penonton dibuat semakin greget bagaimana akhir dari pembalasan dendam yang dilakukan Katnis dkk akan setimpal dengan Capitol lakukan pada mereka. Sebelum sampai ke sana silakan nikmati dulu suara seksi JLaw dalam membawakan satu lagu "The Hanging Tree" serta tentunya bagaimana rapinya Francis Lawrence membangun pondasinya mengobarkan semangat pengikut Katniss Everdeen dengan semboyan "Join The Mockingjay. Join The Fight".



Rabu, 19 November 2014

The Babadook

 Sutradara Jennifer Kent, 2014


Dibuka dengan adegan kecelakaan mobil yang melibatkan sepasang suami istri- Amelia dan suaminya-, dimana saat itu mereka berdua sedang dalam perjalanan ke rumah sakit untuk melahirkan anak pertama mereka. Naasnya insiden ini memakan korban jiwa yakni suami Amelia. Lompat 6 (enam) tahun diceritakan Amelia hidup sebagai single mother dengan putranya,Samuel. Sebelum tidur menjadi kebiasan Samuel minta dibacakan buku dongeng anak-anak. Dan, disuatu malam yang berbeda dengan malam-malam sebelumnya sebuah buku dongeng berjudul “The Babadook” dibacakan oleh Amelia atas keinginan Samuel. Adalah sebuah dongeng horor dengan pop up art yang semakin memperlihatkan kengerian cerita. Ketakutan segera dimulai. 

Bagi yang mengharapkan The Babadook menawarkan efek jump scare mungkin akan kecewa, karena film ini menghabiskan sebagian besar durasinya 94 menit ini untuk menunjukkan kepada penonton bagaimana sulitnya seorang single mother mau tidak mau harus mengurusi/menangani putranya-yang mempunyai karakter hiperaktif- seorang diri. Seperti ibu lainnya Amelia tentu saja mencintai Samuel, tapi disisi lain tampak juga ada rasa kebencian mendalam pada putranya ini. Hubungan yang tidak erat ini malah diperumit dengan kehadiran sosok Mr. Babadook. Suatu misteri besar apakah Mr. Babadook ini- yang sebelumnya hanya ada di buku dongeng tadi itu- memang nyata adanya ataukah muncul karena rekaan ibu dan anak ini. Ya, itu dimungkinkan. Samuel seorang anak kecil yang terkadang punya "teman" bermain sementara Amelia diakibatkan terlalu banyak pikiran serta kurang tidur.

Sebagai tipikal film indie berbiaya rendah, film ini menggunakan sedikit pemain, setting yang sebagian besar di dalam rumah, dan alur lambat yang dibangun dari kepingan kejadian sehari-hari. Sebagai pengganti efek ketakutan penonton akan efek jump scare-nya Kent menciptakan horror dimata penonton melalui sudut- sudut gelap serta tone warna yang suram ditambah nuansa thriller yang tak menjemukan.Ini poin plus menarik sebuah film horror di sepanjang filmnya, editing-nya hidup hingga penonton merasakan kengerian yang sama. Elemen- elemen horor di dalam film ini terbentuk tanpa berlebihan disana sini meskipun kenyatannya bahwa film ini lebih menekankan studi karakter seorang ibu single mother bermasalah.

 Namun di balik kelebihannya, sayangnya kita menemukan beberapa kekurangan juga pada film ini.Yang pertama, transisi alur melalui perpindahan beberapa adegannya sungguh kurang `sedap` disaksikan. Kadang-kadang hal ini sangat wajar membuat penonton kebingungan dengan kejelasan cerita dan maksud dari setiap adegannya. Yang kedua, pengembangan alur terasa datar pada film. Akhir kata, The Babadook jelas bukan horor biasa terutama dengan visual monster Babadook yang mengingatkan terhadap beberapa karakter horor terkenal, seperti Annabelle namun The Babadook menampilkan cerita lama dan usang dengan gaya penceritaan unik sehingga membawanya kepada sebuah film yang memiliki rasa akan originalitasnya.



Selasa, 18 November 2014

Kungfu Jungle

Sutradara: Teddy Chan, 2014

Dalam tahun 2014 saja aktor laga dari Hong Kong, Donnie Yen sudah membintangi 4 (empat) judul film. 2 (dua) diantaranya sudah tayang di Indonesia- The Monkey King dan Iceman- film satunya ,Golden Chickensss rasanya tidak tayang disini, film terakhirnya menutup tahun ini berjudul Kungfu Jungle. Jika melihat karir Yen belakangan ini film-film yang ia bintangi kurang populer di hati penonton, penyebabnya mungkin dikarenakan dirinya memiliki kemampuan akting yang masih kaku. Nyatanya Donnie Yen sepertinya tetap merupakan pilihan banyak sutradara Hong Kong/China ketika sedang mencari aktor untuk berperan dalam sebuah film period Asia masih. Salah satu sutradara itu adalah Teddy Chan  yang sebelumnya bekerjasama dalam film Bodyguards and Assassins. Kini pertanyaannya apakah kolaborasi mereka berdua dapat meng-upgrade / mengobati kekecewaan penonton atas beberapa film Yen lalu

Premis cerita Kung Fu Jungle ini bisa dibilang terlalu simple. Dibuka dengan pembunuhan misterius yang melibatkan seorang seniman ahli bela diri, kemudian menarik perhatian Hahou Mo (Donnie Yen) -yang waktu itu di penjara karena satu waktu tanpa sengaja dia membunuh seseorang- menawarkan diri untuk membantu menangkap sang pembunuh, dengan ganti pembebasan dirinya. Detektif Luk Yuen Sum (Charlie Yeung) menyetujui tawaran ini dan Hahou Mo pun turun tangan mencari sang pembunuh. Usut punya usut, tersangka beberapa kasus pembunuhan adalah seorang petarung Fung Yu-Sau (Baoqiang Wang) yang memiliki agenda pribadi. 

Dalam paruh waktu pertama film ini sepertinya menawarkan plot yang kuat serta karakter misterius yang mencoba untuk membuat chemistry antara karakter Yen dengan karakter Wang. Bahkan, kita melihat niat baik yang jelas Hahou dan niat jahat Yu-Sau. Bahkan jauh sebelum mereka berdua dipertemukan, penonton sudah dibuat menahan nafas melihat pertarungan tangan kosong di dalam penjara yang mana langsung mengingatkan kita akan adegan yang sama pada film The Raid 2: Berandal. Gak kalah serunya. Ya, lagi-lagi adegan film laga Indonesia satu ini menjadi panutan adegan laga luar negeri sana setelah sebelumnya duel fighting ada di di film Captain America: The Winter Soldier.

Sayangnya itu tidak berlangsung lama. Dalam paruh waktu kedua, kita mulai melihat keteteran dalam penyajian alur cerita. Seharusnya makin memuncak ini malah dikendorkan. Beberapa adegan terbilang tidak masuk akal. Peononton masih belum jelas mengerti alasan mengapa Yu-Sau mengubah dirinya dari suami yang penuh kasih menjadi seorang pembunuh. Kelemahan keduanya adalah apakah peran Detektif Luk begitu penting hingga "memakan" hampir seluruh adegan film ini. Toh kita hanya menantikan kedua karakter utama bertarung. Sabar, untuk soal pertarungan akan terjawab dan sangat sangat memuaskan kalian. Rasanya kali ini harus diakui belum ada setting adegan pertarungan seperti ini. Rasanya kita pun terbawa duel di dalamnya. Super.

Akhir kata, kolaborasi kedua antara Teddy Chen dengan  Donnie Yen bareng Baoqiang Wang ini  masih layak ditonton, menghibur dan pastinya unsur laganya tidak bakal mengecewakan meskipun plotnya kurang tertata rapi.



Jumat, 14 November 2014

Begin Again

 Sutradara: John Carney, 2013

Kita tahu bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan seniman adalah bahwa dalam setiap konteks pengalaman subjektif mereka- baik itu sebuah kata, suasana hati, atau arti- tampaknya berbicara langsung kepada mereka dan oleh merekalah diwujudkan dalam berbagai media mulai dari bentuk lagu, film, buku, atau gambar. Dalam Begin Again mengangkat satu pertanyaan kepada penonton "Apakah lagu bisa menyelamatkan hidup Anda?" sekaligus berharap akan "menyentuh" penonton dengan cara  membangkitkan bagaimana lagu memperkaya hidup mereka dan menghubungkan mereka dengan orang-orang di sekitar. 

Film dibuka di sebuah klub bawah tanah kecil, di mana Gretta (Knightley) dibujuk oleh teman baiknya, Steve (James Corden) untuk naik ke panggung sambil menyanyikan lagu yang dia ciptakan sendiri. Ketika Gretta bernyanyi ada satu pengunjung yang menyukai kualitas suaranya. Adalah Dan (Ruffalo),seorang produser rekaman indie yang kini hidupnya berantakan. Baru saja dipecat dari label rekaman yang membesarkan namanya ditambah dengan kondisi keluarga, berpisah dari istrinya Miriam,(Catherine Keener) dan putrinya, Violet (Hailee Steinfeld). Seperti Dan, kehidupan pribadi Gretta juga dalam keadaan kacau, karena mengikuti pacar sekaligus mitra kerjanya, Dave Kohl (Adam Levine dari grup band Maroon 5) dirinya sementara tinggal di kota New York namun karena sesuatu hal hubungan mereka pun kandas ditengah jalan.  

Sekali lagi seorang sutradara asal Irlandia, John Carney -ditahun 2006 sukses mengarahkan film Once- berhasil menciptakan sebuah kisah drama romantis dengan kota New York sebagai latar belakangnya plus sentuhan lagu-lagu melankolis, sederhana, natural. Kisah cinta antara dua insan manusia yang karena sebelumnya sama-sama memiliki masalah dan karena musiklah yang menghubungkan mereka berdua. Terasa ada kedekatan hubungan antara Keira Knightley dan Mark Ruffalo dalam penampilan mereka. Ada saat dimana mereka mendengarkan daftar lagu ketika bepergian melewati sudut-sudut hingga di pusat keramaian kota New York yang sejenak mengingatkan akan film-film jadul. 

Aspek lain dan terpenting mengapa penonoton menyukai dari film Begin Again adalah soundtrack. Lagu-lagu yang ada di film ini mungkin akan menjadi kenangan tersendiri khususnya bagi kalian yang sudah menontonnya. Kalian akan ingin mendengarkan salah satu lagu tersebut berulang kali. Terhitung ada 2 (dua) lagu yang sangat memorable yaitu "A Step You Can't Take Back" dan " Lost Star", khusus "Lost Stars" sendiri mempunyai 2 versi, masing- masing dibawakan oleh Keira Knightley dan Adam Levine.

Hidup itu sulit namun Begin Again setidaknya berhasil membuat penonton bersemangat memulai sekali lagi menjalani hidup yang sebelumnya cenderung membosankan dengan rutinitas yang dijalani. Saya  sangat merekomendasikan kalian menonton film ini. Ini adalah salah satu film drama musikal yang membuat kalian cooling down (setelah beberapa bulan ke belakang kita di sodori film-film musim panas yang penuh adegan aksi) sembari mendengarkan alunan lagu-lagu didalamnya.

Selasa, 11 November 2014

White Bird In A Blizzard

 Sutradara: Gregg Araki, 2014


"Usiaku masih 17 tahun saat ibuku menghilang. Membuatku menjadi tak berarti tanpa tubuhku, daging dan darah, serta hormon yang memuncak. Ibuku pergi dan meninggalkannya."
 

Begitulah prolog dari "White Bird In A Blizzard," film terbaru arahan sutradara Gregg Araki yang diadaptasi dari novel karangan Laura Kasischke tahun 1999. Film ini menceritakan seorang ibu yang menghilang tanpa jejak dari pinggiran kota California Selatan dan  putrinya, seorang mahasiswi yang dalam proses menemukan jati dirinya. 

Dari pihak luar, keluarga Connors tampak seperti keluarga yang sempurna dan memiliki kehidupan yang sempurna namun tidak demikian sesungguhnya. Eva Green berperan sebagai Eve, seorang ibu rumah tangga terjebak dalam pernikahan yg membosankan tanpa ada alasan untuk membenci suaminya. Sebaliknya, dari pihak suami Brock, yang diperankan oleh Christopher Meloni, sangat mencintai istrinya meskipun penghinaan sering ia terima. Shailene Woodley sendiri berperan sebagi Kat gadis yang cerdas, periang dan memiliki seorang teman kencan pria -yang ternyata tetangganya-,Phil.

Setelah mengetahui masing- masing karakter dari keluarga Connors diatas, kemudian melalui alur cerita maju mundurnya. Perlahan demi perlahan penonton mulai menebak alasan mengapa sampai Eve menghilang hingga pada kesimpulan kondisi terakhir Eve. Inilah yang membuat film ini begitu menarik adalah cara menciptakan ilusi hilangnya Eve. Penonton dibiarkan merasa yakin menghilangnya Eve hingga menuju akhir cerita.

Ini semua mulai terungkap setelah Kat kembali ke rumah dari kuliahnya disalah satu Perguruan Tinggi dan memulai penyelidikannya kembali atas hilangnya ibunya, membuat Kat dan penonton memikirkan kembali apa yang mereka ketahui tentang Eve. Misteri hilangnya Eve akhirnya diselesaikan di penghujung cerita, sebuah kejutan yang akan membuat penonton tercengang. Setiap kepingan puzzle dari hilangnya Eve terungkap dalam cara yang sama sekali tak terduga.

Minggu, 09 November 2014

Interstellar

Sutradara: Christopher Nolan, 2014


Di masa depan yang tidak begitu jauh, kita mendapatkan bahwa Bumi dalam situasi sangat berbahaya. Efek berbahaya tersebut mulai dari kekeringan, kelaparan, dan pemanasan global apalagi diperparah dengan makanan telah menjadi langka, sehingga dalam jangka waktu lama Bumi tak layak lagi untuk dihuni oleh manusia. Dengan sedikit prolog dari warga setempat penonton kemudian dibawa kepada Cooper (Matthew McConaughey),- duda insinyur yang kini bekerja sebagai seorang petani dengan berbekal seorang pilot dari NASA di masa lalu-, tinggal dengan kedua putra putrinya Murph dan Tom dan ayahnya,Donald. Dalam suatu peristiwa dikamar Murph terjadi kejadian aneh, oleh Murph sendiri itu adalah ulah hantu. Namun berbekal bakat yang dimiliki Cooper, "hantu" terebut ternyata suatu kode biner koordinat yang membawa dirinya kepada fasilitas rahasia NASA.  Lewat perbincangan dengan salah satu pentolan NASA, Profesor Brand (Michael Caine) berujung pada "lubang cacing" dalam tata surya ini, yang akan memungkinkan perjalanan antarbintang dengan satu tujuan mencari planet lain layak huni. "Manusia terlahir di Bumi tapi tidak untuk mati di Bumi", dari perkataannya ini Cooper akhirnya membuat keputusan untuk memimpin perjalanan tersebut meskipun putrinya melarangnya.

Dalam Inception dan Memento, Nolan membawa idenya tentang memori/ ingatan, tetapi dalam Interstellar membawa konsep idenya tentang waktu yang ditambahi tema cinta dimana akhirnya membuat sebuah cerita yang begitu emosional. Saya dan sebagian dari penonton menyadari bahwa kita bukanlah seorang jenius dalam fisika dan ketika di beberapa adegan beberapa teori-teori ilmiah (kode Morse, teori relativitasnya Albert Einstein, anomali Gravitasi, kuantum, teori singularitas)  disampaikan, kita sedikit sukar "menerjemahkannya". Namun, Nolan tidak membiarkan ilmu fisika diatas berbasis konsep waktu ini lantas membingungkan penontonnya, tetapi dengan caranya (Nolan dan kakaknya, Jonathan Nolan) penonton dibuat akan memahaminya.

Ketika menonton film-film karya dia (Nolan), kita datang ke bioskop untuk mengharapkan beberapa hal. Seperti yang dibahas diatas, kita tahu bahwa dia adalah storyteller yang luar biasa, tetapi apa gunanya cerita yang hebat tanpa dukungan dari performa kualitas akting aktor/aktris yang terlibat di filmnya. Sekali lagi- setelah pemilihan aktris Marion Cotillard dalam filmnya The Dark Knight Rises- kali ini giliran aktris Jessica Chastain dan Mackenzie Foy berperan sebagai Murph muda dan dewasa. Karakter Murph mencontohkan pengertian tentang konsep waktu di mana Nolan bermain dengan begitu leluasa. Kita menemukan tiga poin dalam hidupnya: masa remaja, setengah baya dan tua. Di masa remaja dan setengah baya karakter ini begitu kompleks. Mackenzie Foy membawa beberapa adegan yang lebih emosional pada permulaan Interstellar namun tidak demikian pada Jessica Chastain sebagai Murph dewasa, ya untuk kali ini aktingnya terkesan kurang maksimal dalam membawakan perannya .

Selain penampilan aktris diatas, saya punya harapan yang sangat tinggi untuk penampilan Matthew McConaughey. Akhir-akhir ini kita tahu dalam film yang ia perankan makin lama makin maksimal, harapan saya melalui film Interstellar, McConaughey mendapat kesempatan untuk membuktikan betapa dia layak menang di ajang Academy Award. Karakternya sebagai seorang ayah yang harus meninggalkan keluarga akibat keputusannya, bukan hanya secara fisik tetapi juga secara emosional antara dia dan putri tercintanya, Murph. Meskipun misi perjalanan antar bintang dalam tanggungjawabnya, kita tahu bahwa dia melakukannya lebih untuk anaknya daripada untuk dirinya sendiri, meski tahu bahwa misi diluar angkasa memiliki resiko tinggi.

Terpukau dengan sinematografi spektakuler oleh sinematografer Belanda-Swedia Hoyte van Hoytema yang diperkuat dengan score luar biasa arahan Hans Zimmer, Interstellar menegaskan kembali posisinya sebagai salah satu film terbaik tahun 2014. Namun, film ini bukannya tak memiliki kelemahan. Dalam paruh pertama saya merasa bahwa film kehilangan sedikit kecepatan ini pun masih dimaklumi karena paruh pertama ini dipakai untuk menjelaskan secara detil setiap karakter dan poin utama yang menjadi landasan di paruh kedua. Tapi perasaan ini dengan cepat berlalu. Indahnya visual efek - lihat saja bagaimana pengambaran visualisasi planet Mars, Saturnus, lubang hitam, planet air, planet es- menjadikan alasan utama mengapa saya tidak akan lupa film ini dalam waktu dekat.

Interstellar adalah film sinematik kedua tentang perjalanan manusia diluar Bumi yang tidak akan kita lupakan dalam beberapa tahun -setelah sebelumnya ada film Gravity-, ehm mungkin selamanya disulam dengan cerita tentang cinta abadi (= sesuatu yang dapat dirasakan melewati dimensi ruang dan waktu) seorang ayah kepada putrinya. Begitu powerfull. Bagi yang sudah menonton karya- karya Nolan pasti tidak heran kalau apa yang ia kerjakan hasilnya selalu tak biasa. Selalu ada unsur kejutan demi kejutan ( baca twist ) dalam setiap filmnya. Dan, satu lagi ada kejutan mendekati akhir cerita. Begitu brilliant. Finally, In Nolan We Watch.