Minggu, 30 Desember 2012

Silent Hill: Revelation

 Director: Michael J. Bassett, 2012



Selain film Resident Evil yang ditahun 2012 ini masih berlanjut dengan sekuelnya- tapi  amat disayangkan makin lama kualitas ceritanya makin jelek- ternyata ada satu lagi film yang juga sama- sama diangkat dari video game dan sama- sama ber-genre survival horror, Silent Hill. Sekedar mengingat kembali, di tahun 2006, Silent Hill dibuat versi layar lebarnya dengan sutradaranya Christoper Gans. Benang merah kisahnya seperti ini ketika itu Rose dan suaminya Christopher Da Silva khawatir akan kondisi anak angkatnya, Sharon yang selalu mengalami mimpi buruk. Di setiap mimpinya Sharon selalu menyebut kata Silent Hill-yang merupakan nama kota- berulang kali. Untuk mencari tahu lebih dalam rahasia apa yang terdapat di kota Silent Hill, Rose membawa Sharon ke kota ini tanpa sepengetahuan suaminya.  Sayang, dalam perjalanannya mereka mendapat kecelakaan dan kabar buruknya Sharon menghilang tanpa jejak. Sambil mencari anak angkatnya ,Rose menyadari bahwa kota Silent Hill menyimpan rahasia kelam dan rahasia itu berhubungan dengan Sharon. Dan, 6 (enam) tahun kemudian tepatnya Oktober 2012 Silent Hill melanjutkan kisahnya kembali dan kali ini terdapat versi 3D-nya.

Melanjutkan akhir cerita dari Silent Hill (2006), Rose mengorbankan dirinya terperangkap entah untuk berapa lamanya di kota Silent Hill agar putri dan suaminya bisa hidup bebas. Tetapi tidaklah demikian pada kenyataannya, selama bertahun- tahun Christopher dan Sharon berpindah tempat dari satu kota ke kota yang lain demi menghindari kejaran polisi dan pemeritah. Pernah satu kejadian demi melindungi Sharon, Christopher membunuh seseorang.  Akibatnya, mereka berdua mempunyai nama yang berbeda- beda di setiap kota yang ditinggalinya, Sharon berganti nama menjadi Heather. Selama berjalannya waktu, kini Heather berumur 18 (delapan belas) tahun.  Di usia inilahHeather kembali mendapatkan mimpi buruk yang sama ketika dirinya masih kecil. Sang ayah yang mendengar cerita mimpi buruk itu hanya berpesan “jangan pernah ke kota Silent Hill meskipun namamu disebut”. Dalam waktu yang berdekatan Christopher seakan didatangi oleh istrinya, Rose yang meminta suaminya bersumpah untuk selalu menjaga Sharon baik- baik dan jangan ada Silent Hill lagi di kehidupan Sharon, cukup dirinya saja yang terperangkap. Di awal masa kuliahnya, Heather sengaja tidak mengenalkan dirinya lebih dalam, dengan alasan toh suatu saat dirinya tak lama lagi akan meninggalkan tempat kuliah ini. Sikap Heather ini malah mengundang ketertarikan salah satu teman cowok kuliahnya yang bernama Vincent untuk lebih mengenal lebih dekat siapa dirinya. Karena, suatu kejadian Heather merasa dikuntit oleh seseorang yang mencurigakan sementara ayahnya tidak kunjung datang menolongnya, ditambah lagi setibanya dirumah sang ayah ternyata tak ada dirumah malah yang dilihatnya satu simbol dan tulisan “come to silent Hill” dari bercak darah. Mau tak mau dan satu-satunya orang yang ada didekatnya adalah Vincent, Heather mulai sedikit membuka hubungannya dengan Vincent.

Karena ayahnya menghilang secara misterius, dibukanya semua berkas yang semuanya berkaitan dengan Silent Hill. Satu simbol tadi yang dilihatnya berkaitan dengan satu orde yang bernama Orde Valtiel yang dipimpin oleh Claudia Wolf dimana orde ini sangat menginginkan kehadiran kembali dirinya di kota ini. Segera mereka berdua, Heather dan Vincent menuju Silent Hill. Dalam perjalanan ini, mereka beristirahat sejenak untuk menenangkan diri dan pikiran. Vincent sendiri menyetujui perkataan Christoper- mengingatkan kembali perkataan ayahnya- supaya tidak datang ke kota Silent Hill demi keselamatan nyawamu. Dari info yang diketahui oleh Vincent, alasan mengapa Orde Valtiel menginginkan Heather di Silent Hill karena berkaitan dengan satu sosok wanita bernama Alessa. Tetapi, Heather masih tetap dengan niatnya semula tetap melanjutkan perjalanan.  Melalui suatu dimensi, tiba- tiba Heather sudah berada di kota terkutuk ini, sunyi tanpa penghuni, bangunan yang ada terlihat tak terurus, jalanan diselimuti kabut. Hanya satu orang yang ketika itu ditemuinya. Ternyata adalah ibu dari Alessa. Dari perkataan ibu Alessa terungkap sudah rahasia sebenarnya pada diri Sharon/Heather yang selalu mendapat mimpi buruk sekaligus menjadi jawaban dari pertanyaan di Silent Hill seri pertama “mengapa ibu dan ayahnya melarang dirinya ke kota terkutuk Silent Hill”?. Saya tidak menulis apa rahasia itu di blog ini karena itulah yang menjadi tema utama film ini sendiri. Pertanyaan selanjutnya “apakah Heather berhasil menemukan ayahnya”? . Sementara disisi lain Orde Valtiel sedang memburu dirinya.

Sebenarnya sekuel film ini bisa saya bilang tak jauh berbeda dengan seri pertamanya. Baik dari segi penyampaian cerita, karakter, pemilihan lokasi sampai wujud monsternya. Hanya kali ini tingkat ketegangannya lebih banyak terutama monster- monster berwajah aneh yang muncul secara tiba- tiba dan bergerak dengan cara yang aneh mampu membuat ketakutan bagi penontonnya , ya semua ini adanya dukungan audio yang mumpuni. Suasana mencekam dan menyeramkan dari kota Silent Hill juga berhasil digambarkan dengan baik. Yang bikin saya senang di film ini adalah munculnya si Kepala Piramid dan tentunya para suster zombie di ruang operasi, serasa nostalgia. Akhir kata, film ini yang mendapat kritikan cukup pedas dari pelbagai pengamat film dikarenakan ( yang salah satunya) unsur ceritanya dianggap dangkal meskipun kursi sutradara sudah diganti dan diarahkan oleh Michael J. Bassett, namun saya pribadi yang mana bukan penggemar gamesnya tapi masih tetap menikmati kisah ini. Oiya, melalui blog ini saya ucapkan terima kasih buat teman dekat saya semasa kuliah yang kemarin siang dapat terlaksana acara nonton barengnya.



Sabtu, 29 Desember 2012

Habibie dan Ainun

Director: Faozan Rizal, 2012


Tidak banyak film Indonesia yang saya tonton di layar lebar dan tak banyak pula film karya anak negeri yang memilki cerita berkualitas bagus. Bukannya saya tidak menghargai karya anak negeri sendiri tapi seperti yang juga kita ketahui sendiri, film Indonesia yang sudah rilis disini tak jauh dari tema horror dengan bumbu unsur sensualitas. Ya, hanya 3 (tiga) film karya anak negeri yang sudah saya tonton di layar lebar di tahun 2012. The Raid (Maret 2012), Modus Anomali (April 2012), dan terakhir Habibie dan Ainun yang baru saya tonton kemarin siang di Sutos XXI. The Raid sendiri sudah mengangkat nama Indonesia- walau sutradaranya bukan dari Indonesia- di negara orang lain dan segera ditayangkan ulang di salah satu TV lokal menyambut akhir tahun 2012- just info: DVD Original The Raid ini baru saja dirilis 24 Desember lalu. Untuk Modus Animali sendiri bagi saya merupakan salah satu film Indonesia yang berkategori mind-fucking, mungkin bagi yang sudah menonton film Joko Anwar sebelumnya Kala dan Pintu Terlarang sudah pasti tahu twist seperti  itu. Saat menonton Rise of The Guardians ada cuplikan film Habibie dan Ainun, tapi belum ada ketertarikan untuk menontonnya. Niat menonton muncul ketika saya membaca postingan di salah satu forum film terkenal di Indonesia yang mengomentari film ini “bagus dan lebih hebatnya, pasangan cowoknya sampai menangis”…yap, dari sinilah awal bagi saya untuk membuktikan apakah betul perkataan tadi.

Karena ini adalah A True Story based on The Bestselling Book “ Habibie dan Ainun” maka tugas utama dari sang sutradara adalah membuat kisahnya se-nyata dan se-akurat mungkin sesuai yang tertulis dibuku tersebut. Mengingat ini adalah kisah tentang cinta pertama dan cinta terakhir. Kisah tentang Presiden ketiga Republik Indonesia bersama Ibu Negara. Cinta, bagi teman- teman yang sudah berkeluarga atau sekarang yang lagi memulai proses cinta. Pastinya diawal perjumpaan atau perkenalan tidak langsung diikuti adanya rasa cinta dulu, bahkan yang ada (mungkin)malah rasa kurang suka akan pasangannya. Demikian juga yang dialami Habibie dan Ainun. Awal mereka bertemu sewaktu duduk di bangku S.M.P di Bandung tahun 1953. Gurunya sendiri sempat berkata mereka berdua cocok satu sama lain, sama- sama pintar. Tapi, tidak bagi Habibie yang menganggap Ainun itu orangnya jelek, item seperti gula Jawa. 6 ( tahun) kemudian mereka tak bersua karena Habibie melanjutkan sekolahnya di Jerman tahun 1959, keseriusan untuk selalu belajar dan belajar tak diragukan lagi sampai- sampai untuk kesehatannya tak terlalu dihiraukan, dan ditahun ini Habibie di-diagnosis terkena Tubercolosa alias T.B.C.  3 (tahun) kemudian tepatnya 1962 Habibie kembali ke Ranggamela, Bandung dalam rangka liburan kuliahnya. Dan,disinilah awal cinta yang tadinya dari tidak suka- dibangku S.M.P- mulai berubah menjadi saling menyukai, benih cinta pun mulai tumbuh. Gula Jawa kini menjadi gula pasir, seperti itulah kata- kata yang keluar dari Habibie melihat Ainun yang kini makin cantik. Yang tadinya masih benih cinta kini sudah bertumbuh. Akhirnya Habibie memberanikan diri untuk mengajak Ainun  menemani dirinya saat kembali ke Jerman. Ya, sebelum terbang ke Jerman mereka berdua meresmikan hubungannya menjadi sepasang suami istri. Tak banyak yang dijanjikan oleh Habibie kepada Ainun dalam kehidupan rumah tangga yang segera akan dijalaninya, tapi satu yang pasti Habibie berjanji akan menjadi seorang suami yang baik dan berbakti pada sang istri, Ainun demikian pula sebaliknya.

Setibanya di Jerman, mereka tinggal di flat yang bisa dibilang sangat kecil , buat calon si jabang bayi saja tidak tahu akan dibaringkan dimana. Kerasnya kehidupan yang mereka jalani benar- benar harus dijalani mereka berdua. Untuk perjalanan pulang Habibie tidak menggunakan alat transportasi umum, ditempuhnya dengan berjalan kaki meski kondisi salah satu alas kakinya berlubang cukup besar yang mengakibatkan telapak kakinya luka akibat dinginnya salju diluar sana. Sementara bagi Ainun, ia juga tak kuasa menahan menangis di hadapan Habibie memohon agar segera kembali ke Indonesia dengan alasan keberadaannya membuat tanggungan ekonomi sang suami makin berat. Permohonan Ainun dicegah oleh Habibie karena dirinya menjanjikan kehidupan yang lebih baik dari sekarang. Satu mimpi yang harus terwujud. Tahun 1963, Habibie mulai menunjukkan hasil kejeniusannya. Keberhasilannya dalam merancang gerbong Kereta Api Tabolt menjadi tonggak awal, (meski) semula orang Jerman meragukan kemampuan si Habibie. Alasan ini memang beralasan, karena mesin- mesin yang ada di negara Indonesia adalah hasil impor Luar Negeri. 2 (dua) tahun kemudian, Habibie lulus dari S-3 dan satu impiannya membuat pesawat terbang sendiri bagi negara tercintanya tinggal selangkah lagi. Surat Permohonan yang telah dikirimkannya ke Indonesia tidak mendapat tanggapan seperti yang diharapkannya.  Tetapi, satu hari di tahun 1968 dirinya menerima telepon dari Kedutaan Indonesia yang menawarkan dirinya untuk mewujudkan impiannya tadi, yakni membuat pesawat terbang. Selama 10 (tahun) berjalan telah banyak terjadi kejadian yang menyenangkan dan yang tak menyenangkan. Ya, Habibie menerima banyak tawaran kerjasama dari pelbagai pihak Luar Negeri tapi ada satu halangan dari negaranya sendiri dari salah satu pengusaha terkenal di Indonesia yang memancing mereka berdua terkena godaan harta.  Satu mimpi yang harus terwujud sekarang terwujud sudah. 10 Agustus 1995 pesawat terbang karya anak negeri yang -diberi nama N250-lahir dari hasil pemikirannya terbang dan mendarat dengan sempurna, tentunya disaksikan Presiden R.I Soeharto bersama Ibu Tien Soeharto. Pasang surutnya kehidupan kembali dialami Habibie dan Ainun, setelah menjabat Presiden R.I ketiga yang tak lama kemudian dirinya mengundurkan diri sebagai Presiden R.I. Dan, awal cinta mereka harus berakhir. Di tahun 2010 Habibie mengetahui kondisi kesehatan istrinya dalam keadaan kritis, didiagnosis terkena kanker ovarium stadium 3. Penyesalan, Kesedihan bahkan tetesan air mata membasahi wajah mereka berdua.

Terbukti sudah salah satu postingan komentar yang ada disalah satu forum film diatas. Adegan sedih mampu membuat saya pribadi tak kuasa menahan air mata. Oke, mungkin tulisan ini terkesan berlebihan tapi boleh coba tonton sendiri kekuatan film ini bertutur. Selain sedih, Habibie dan Ainun juga mencampurkan adegan humor di beberapa adegan yang juga mampu membuat saya tersenyum bahkan tertawa. Ini semua tak lepas dari kekuatan akting dari Reza Rahadian sebagai Habibie dan Bunga Citra Lestari sebagai Ainun yang mana keduanya tampil secara maksimal mendalami karakter salah satu Bapak dan Ibu Negara R.I ketiga ini. Oiya, melalui blog ini saya sampaikan terima kasih kepada @SimPati yang setiap hari Jumat memberikan tiket gratis nonton melalui acaranya Simpati Friday Movie Mania dan baru Jumat ini saya bisa turut serta meramaiakan acara ini. Akhir kata, saya tulis sedikit kutipan Surat yang dibuat oleh Habibie untuk istri tercintanya….
“ Thank you God, You have given birth to me for Ainun and to Ainun for me, Thank you God, You have made me meet with Ainun and Ainun with me. Thank you God, that on May 12, 1962 You married me to Ainun and Ainun to me….”

Rabu, 26 Desember 2012

The Assassins

 
Director: Linshan Zhao, 2012



Ketika lagi menunggu pintu gedung bioskop akan dibuka, kalau tidak salah ingat menonton Skyfall di Galaxy Mall XXI, saya jalan- jalan sebentar melihat beberapa poster film yang akan segera tayang di Indonesia terutama di Surabaya.  Ada satu poster film yang langsung menarik perhatian saya. Gambar posternya saja - dengan busana dan setting kerajaan-sudah mengundang ketertarikan untuk mengetahui lebih lanjut siapa saja pemainnya. Terlihat jelas  dengan ukuran skala gambar lebih besar dari pemain lainnya wajah aktor Asia terkenal pada jamannya, Chow Yun-Fat. Dan, yang bikin saya lebih tertarik untuk menonton film ini di kemudian hari adalah ada si cantik Liu Yifei dan Alec Su. Bagi yang kurang mengetahui siapa Liu Yifei, sebelum film ini dia pernah bermain di film The Forbidden Kingdom (2008), A Chinese Ghost Story (2011), dan terakhir di The Four (2012)- khusus The Four  ulasan ceritanya sudah saya posting di blog ini. Sementara, aktor Alec Su pasti banyak yang tahu atau mungkin ada teman- teman yang lupa. Ya, aktor ini pernah berperan di salah satu TV Serial Princess Returning Pearl a.k.a My Fair Princess kalau di salah satu TV lokal Indonesia serial ini berjudul “Putri Huanzhu”. Well, meski saya belum membaca resensi singkat  bagaimana ceritanya, yang penting ada 3 ( tiga) nama artis diatas sudah cukup bagi saya untuk menontonnya.

Seperti biasa sebelum saya mengulas cerita ini lebih lanjut, saya membagi cerita ini menjadi 3 (tiga) bagian berdasarkan 3 (tiga) bagian waktu, waktu disini yang dimaksud adalah tahun.  Akhir musim dingin tahun 14 Jian-an, akhir musim dingin tahun 24 Jian-an dan sekitar tahun 25 Jian-an.  Untuk lebih memudahkan memahami jalan cerita, saya fokuskan terlebih dahulu hal-hal apa saja yang terjadi di tahun 24 Jian-an.  Adalah Cao Meng De- yang lebih kita kenal dengan nama Cao Cao- bersama Dong Wu pulang kembali ke istana miliknya, Dong Que Tai setelah berhasil mengalahkan Kuan Yu. Tetapi, sebetulnya berita yang sangat dinantikan oleh seluruh penghuni istana Dong Que Tai adalah berita kematiannya itu sendiri. Kehadiran Cao Cao dalam keadaan masih segar bugar serta merta membuat kaget penghuni istana ini termasuk  Kaisar Han beserta para Menteri. Lalu, dihadapan warga istana dirinya mengumumkan bahwa kota Fan sudah ditaklukannya, Kuan Yu sudah dibunuh oleh Li Meng, anak Sun Quan menyerahkan kepala Kuan Yu kepadanya, tetapi yang menjadi pertanyaan bagi dirinya “siapa yang ingin mengadu domba dirinya dengan Liu Bei”?. Sebagai penghormatan pada Kuan Yu dirinya mewakili Kerajaan Han akan membuat Tugu Han Shou untuknya. Selepas itu, hadirlah seorang wanita cantik berjubah merah didepannya. Siapa wanita ini dan apa ada tujuan tersembunyi? Saya akan membahas siapa wanita ini pada paragraph selanjutnya. Masih di tahun yang sama, Cao Cao membuka kembali satu pintu yang lama tak dibukanya hampir 10 (sepuluh) tahun lamanya,  karena itupun atas perintahnya sendiri. Di balik pintu ini tersimpan satu memori kenyataan yang cukup pahit.

10 (sepuluh) tahun yang lalu tepatnya akhir tahun 14 Jian-an.  Bertepatan Tahun Tikus dimana keempat bintang bergabung adalah saat hari yang baik untuk terjadinya pergantian Dinasti. Cao Cao diminta oleh pejabat pemerintahan untuk segera naik tahta. Tetapi, seperti yang sudah saya tulis sebelumya terjadi satu memori kepahitan.  Secara tak terduga Cao- Cao seketika itu langsung membunuh pejabat pemerintah yang ada ditempat kejadian. Mengapa Cao Cao melakukan hal ini?. Sebelum pertanyaan ini terjawab, saya melanjutkan apa yang terjadi di tahun 14 Jian-an. Adalah Ling Ju dan Mu Shun, 2 (dua) anak yatim korban dari orang tuanya yang dibunuh Cao-Cao. Semasa kecil mereka berdua dibawa ke suatu tempat gelap. Ditempat inilah mereka berdua bersama anak seusia mereka  diharuskan latihan perang setiap hari tanpa tahu apa tujuannya. Sampai suatu hari, Ling Ju –wanita berjubah merah yang saya sebut di paragraph sebelumnya- akhirnya mengetahui bahwa latihan yang sudah dilakukannya hanyalah untuk membunuh satu orang berpengaruh, yang tak lain adalah Cao- Cao. Sekarang, saya harap teman- teman sudah lebih memahami benang merah ceritanya. Oke, kembali  lagi ke tahun 24 Jian-an. Usaha percobaan pembunuhan terhadap Cao- Cao tidak hanya direncanakan oleh mereka berdua saja, Ling Ju dan Mu Shun.  Pernah suatu malam , pihak ibukota Xin-Du menyerang istananya  Dong Que Tai untuk membunuh Cao- Cao.  Kisah ini makin bertambah rumit karena anak dari Cao- Cao, Cao Bie berniat menggantikan kedudukan Kaisar Han yang mana juga didukung oleh salah satu permaisuri Kaisar Han. Dan, selama berjalannya waktu film ini mulai mengarah ke drama cinta segitiga antara Mu Shun-Ling Ju- Cao Cao. Bagaimana akhir kisah ini? Alasan utama apakah yang menyebabkan pihak istana tak mundur  untuk membunuh Cao- Cao?. Dipihak lain apakah Ling Ju dan Mu Shun berhasil membunuh Cao Cao sesuai dengan tugas dan tujuan yang harus diselesaikan mereka sewaktu masih muda? Semua pertanyaan ini akan terjawab di tahun 25 Jian-an yang bertepatan pesta Dong Que Tai.

Bagi teman- teman yang  pernah menonton TV Serial The Three Kingdoms atau setidaknya pernah menonton film Red Cliff(2008) dan Red Cliff II (2009) pasti tahu sifat dan karakter Cao-Cao. Seorang panglima perang paling kejam dan licik namun disatu sisi dia disanjung bagaikan pahlawan, berani dan pintar di Kerajaan Han. Bagaimana tidak, Kerajaan Han bisa begitu makmurnya  itu semua ada turut campur tangannya, seperti yang terdapat pada salah satu dialog di film ini. Yap, apapun bisa dan akan dilakukan demi ambisinya. Akhir kata, bagi yang menyukai  kisah Tiga Negara atau yang lebih kenal dengan SamKok, jangan lewatkan untuk menonton The Assassins yang lebih berfokus pada kehidupan pribadi Cao- Cao dengan dibalut trik balas dendam, haus akan harta dan kekuasaan,dan terakhir perasaan cinta.  
     

Senin, 24 Desember 2012

Argo

Director: Ben Affleck, 2012




Ben Affleck,  hampir sebagian besar penonton mengetahui nama aktor ini baik yang moviegoers sejati maupun yang pasif sekalipun. Kenapa saya bisa yakin? Karena, salah satu dari film yang nanti saya tulis berikut ini pasti ada yang sudah teman- teman tonton:  Good Will Hunting ( 1997), Armageddon (1998) film ini sudah berulang kali ditayangkan di salah satu stasiun TV lokal, Shakespeare in  Love (1998), Pearl  Harbor (2001), Daredevil (2003), Paycheck (2003) yang baru saja ditayangkan di salah satu stasiun TV Lokal, Hollywoodland (2006), He’s Just Not That Into You (2009), The Company Men (2010), The Town (2010) dan terakhir Argo (2012). Kemudian, jika boleh saya kecilkan kurun waktunya- tepatnya sekitar tahun 2000-an- dari jumlah total film yang sudah ia perankan  hanya sedikit saja yang mendapat pemasukkan dollar diatas $100 juta, ya hanya di Pearl Harbor(2001), The Sum of All Fears (2002), Daredevil (2003), He’s Just Not That Into You(2009) yang mendulang dollar diatas $100 juta. Mungkin, berangkat dari sana dirinya mulai melirik ke arah yang lain. Dimulai dari  film yang berjudul Gone Baby Gone ( 2007) yang menuai respon positif dari segi alur ceritanya, dilanjutkan di The Town (2010) dimana ia juga menjadi aktornya, dan terakhir Argo (2012), dirinya menjabat sebagai sutradara film yang mengarahkan artis didalamnya. Jujur, saya belum menonton  Gone Baby Gone ( 2007) dan  The Town (2010) tetapi untuk kali ini saya menonton film ketiganya sebagai sutradara, Argo.

Untuk lebih memahami bagaimana inti cerita dari Argo, dibukalah satu narasi yang menceritakan latar belakang dan sekaligus menjadi pembuka jalan kisah selanjutnya. Dahulu kala, Iran adalah sebuah Kerajaan, namanya Kerajaan Persia. Selama hampir 2500 tahun lamanya daratan ini dikuasai oleh Raja-Raja.  Selama berjalannya waktu telah terjadi penggantian Raja dan di tahun 1953 Amerika Serikat dan Inggris melakukan sebuah kudeta yakni menyingkirkan Mohammad Mossadegh. Aksi kudeta ini boleh dibilang berhasil dengan terpilihnya Raja Shah Muda. Raja ini hidup dalam kemewahan. Hal ini berbanding terbalik dengan kehidupan rakyatnya yang hidup  menderita sehingga terjadilah kelaparan dinegara ini. Dan, ditahun 1979 Raja ini melakukan kampanye untuk membaratkan Iran. Aksi demokrasi pun akhirnya tak dapat dihindari dan para demonstran menginginkan Raja Shah Muda ini dikembalikan ke mereka untuk diadili dan digantung. Ya,itulah narasi pembuka kisah Argo. Melanjutkan akhir dari narasi tadi, pagi hari tanggal 4 Nopember 1979 Kedutaan Besar Amerika di Iran didatangi oleh kaum revolusioner Iran. Mengetahui keadaan diluar begitu hebatnya tindakan pertama kali yang dilakukan oleh pihak Kedutaan adalah melenyapkan semua dokumen rahasia yang diinginkan pihak revolusioner tadi dan sebagai catatan mereka tidak boleh memakai senjata api alias hanya boleh menggunakan gas air mata.  Tak disangka, aksi para demonstran menjebol pintu depan Keduataan kemudian masuk ke dalamnya. Setidaknya lebih dari 50 (lima puluh) staf Kedutaan disandera oleh kaum Revolusioner, namun 6 (enam) diantara anggota Kedutaan Besar A.S tersebut berhasil melarikan diri ke kediaman resmi Duta Besar Kanada di Teheran,Iran. Untungnya warga Iran disana tidak mengetahui persis dimana lokasi mereka ber-enam bersembunyi selain Divisi Departemen Luar Negeri A.S.

Salah satu pakar C.I.A, Tony Mendez  diperintahkan mencari jalan keluar untuk secepatnya membawa pulang  ke-6 Duta Besar A.S ini keluar dari Teheran. Ide demi ide yang sudah dilontarkan oleh Tony Mendez masih mendapat keraguan dari pihak C.I.A,  “apakah rencana tersebut dapat berhasil”?.  Sampai suatu hari, muncullah ide yang cukup cemerlang. Tony merencanakan membuat proyek film palsu termasuk sutradara dan aktor yang berperan didalamnya.  Untuk lebih memantapkan idenya ini -dan tentunya supaya tidak mendapatkan keraguan lagi dari pihak C.I. A- dirinya menghubungi John Chambers, seorang penata rias Hollywood terkenal. Karena  ini menyangkut negara Chamber mengusulkan supaya tidak membuat film palsu alias membuat  proyek film terlihat benar adanya-  dengan tujuan pihak Iran mengetahui film ini bukan bohongan belaka- ,tentunya  dibutuhkan seorang produser yang bukan palsu alias harus memanggil produser beneran dan terkenal tapi tanpa bayaran. Pencarian mereka berdua tertuju pada Lester Siegel. Mereka bertiga memutuskan satu judul film termasuk bagaimana isi naskah ceritanya. Yap, begitu ide ini benar- benar matang Tony berbicara pada atasannya. Meski idenya masih belum diyakini akan keberhasilannya tetapi mengingat kondisi di Iran sana yang makin lama makin parah. Akhirnya Pemerintah A.S mengijinkan ide ini atas dasar ide terbaik dari beberapa ide terburuk yang sudah ada tetapi dengan satu syarat mengingat operasi ini bersifat rahasia maka resiko apapun yang terjadi termasuk yang dialami dirinya di kemudian hari tidak akan di-klaim oleh Pemerintah A.S. Apakah Operasi Rahasia yang dilakukan oleh Tony Mendez seorang diri ini akan berhasil? Sementara di pihak Iran sendiri warganya mulai menyusun kembali sobekan- sobekan kertas  yang notabene akan diketahui siapa saja ke-6 orang Kedutaan A.S yang melarikan diri. Oiya, dipertengahan cerita kita akan mengetahui apa arti Argo itu sendiri yang dijadikan sebagai judul film.

Film Argo adalah salah satu film yang diangkat dari kisah nyata yang terjadi di tahun 1979. Dan, ditangan Ben Affleck alur ceritanya dibuat se-realistis mungkin. Adanya selingan beberapa rekaman video yang terjadi di tahun tersebut semakin membuat penonton dapat merasakan apa yang terjadi saat itu. Kekuatan cerita Argo tak akan sehebat ini tanpa dukungan para artis didalamnya, dan pujian ini layak disematkan kepada Ben Affleck yang sukses ‘menghidupkan’ Tony Mendez di jamannya, maju di ‘medan perang’ tanpa menggunakan senjata api melainkan bermodalkan kepercayaan diri dan pikiran. Sebenarnya saya sendiri jarang menyukai film ada unsur politik didalamnya. Entah mengapa kemarin malam saat menonton film ini dengan durasinya  kurang lebih 2 jam saya masih terlihat enjoy meski diawal sampai pertengahan cerita banyak dialognya. Tetapi, semua itu terobati saat alur ceritanya mencapai klimaksnya,  benar- benar membuat saya ikut terbawa emosi.  Akhir kata, kita sama- sama menunggu apakah Argo akan meraih Piala di ajang perfilman Hollywood, 70th Golden Globe Awards sebagai Film Terbaik 2012.
 

Sabtu, 22 Desember 2012

Savages

Director: Oliver Stone, 2012



Mulai dari Platoon (1986), Wall Street (1987) berlanjut dengan sekuelnya Wall Street: Money Never Sleeps ( 2010), Born on the Fourth of July ( 1989), JFK (1991), Any Given Sunday ( 1999), Alexander (2004), World Trade Center ( 2006) hingga yang terakhir Savages (2012) inilah beberapa buah karya film yang sudah ditangani oleh sutradara asal kelahiran New York, U.S.A, Oliver Stone. Dari deretan film tadi -belum termasuk Savages (2012)- saya baru menonton Alexander (2004), Wall Trade Center (2006) dan Wall Street: Money Never Sleeps ( 2010), nah khusus film yang terakhir ini saya benar-benar tidak mudheg apa yang ingin disampaikan -mungkin karena film ini bercerita tentang dunia saham dan saya sendiri kurang menggeluti dunia saham itu sendiri-alhasil sebelum sampai habis ceritanya saya langsung mengeluarkan DVD ini dari playernya. Oke, kembali ke sutradara Oliver Stone ditahun 2012 dia kembali menyutradarai film yang memiliki tema seputar liarnya perang bisnis narkoba. Dengan didukung  ensemble cast : John Travolta, Salma Hayek,Benecio del Toro, Aaron Taylor- Johnson, Taylor Kitsch dan si cantik pendamping Hal Jordan di film Green Lantern, Blake Lively. Well, saya kembali tertarik untuk mencoba menonton satu lagi karyanya.

Sebelum mengulas lebih lanjut kisah Savages, ada baiknya saya memberitahu bahwa apa yang akan disaksikan oleh penonton  mulai dari menit pertama hingga menit terakhir semua itu adalah kisah perjalanan yang coba diutarakan ulang oleh salah satu karakter utama di film ini yakni O ( singkatan dari Ophelia ) yang diperankan oleh si  Blake Lively. And her stories begin…tinggallah dua orang sahabat, Ben dan Chon bersama satu orang teman gadisnya- yang tak lain adalah- O di pinggiran laut,Laguna Beach. Selama ini mereka bertiga menikmati hidupnya dengan tentram dan sangat nyaman alias tanpa hambatan dari pihak luar manapun. Lho, kenapa bisa? Apa pekerjaan atau yang mereka lakukan dalam kesehariannya?. Ben dan Chon  adalah teman semenjak S.M.U. Untuk beberapa waktu mereka berpisah, Ben lulus dari pasca sarjana Universitas California sementara Chon menjadi mantan Navy S.E.A.L sekaligus mantan pembunuh bayaran. Ketika mereka bertemu kembali  menjadi satu catatan peristiwa bersejarah. Bagaimana tidak mengelola, mengedarkan ganja bahkan mempunyai sendiri tanaman ganja terbaik di dunia, ya itulah yang menjadi satu- satunya alasan hidup mereka begitu tentram dan nyaman. Ikatan persahabatan Ben dan Chon semakin kuat, jika Ben mempunyai filosofi “ jangan menggangu orang lain” Chon juga mempunyai filosofi “ jangan menggangu Ben”.  Tidak saja dalam dunia bisnis, mengenai siapa gadis pujaan pun mereka berdua bersedia berbagi dan dialah si cantik O yang mana makin menambah keceriaan kesenangan. Ya, O sendiri berkata bahwa dirinya adalah ‘rumah’ bagi mereka berdua, Ben dan Chon. 
      
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah kenapa bisa usaha bisnis mereka berdua tidak terdengar atau ‘ tercium’ oleh pihak terkait semisalnya kepolisian setempat?. Selidik punya selidik, ternyata ada satu orang di belakang mereka dan lucunya orang ini adalah agen anti narkoba.  Sebutlah namanya Dennis Cain yang bersedia hati membantu perdagangan bisnis illegal ini walau kita tahu ada simbiosis mutualisme yang sedang terjadi. Dan, kisah Savages pun mulai menanjak dengan munculnya satu konflik. Dimulai saat Chon menerima dan melihat kiriman satu video yang menunjukkan satu perbuatan yang amat sadis terhadap tawanannya. Apa isi pesan dari video tersebut dimengerti oleh Ben dan Chon. Yap, untuk kali ini mereka berdua mulai timbul beda pendapat dan pandangan. Bagi Ben, dengan adanya kiriman video tersebut membuat dirinya untuk tidak melanjutkan lagi bisnis illegalnya tetapi tidak berlaku bagi Chon. “Bersikaplah berani dan lanjutkan terus usaha illegal ini”, karena dengan mengundurkan diri akan membuat pihak lawan merasa bangga atas kemenangannya sebelum perlawanan terjadi, ya begitulah pandangan Chon. Demi mendapatkan perlindungan lebih, mereka berdua menyampaikan apa yang baru saja mereka lihat di video itu kepada Dennis Cain. Dengan entengnya Dennis menanggapi hal ini, karena selama mereka masih dalam lindungannya tak ada sesuatu mengenai mereka.  Sayang, ketenangan seperti yang dikatakan Dennis tak berlangsung lama. Ketika satu perjanjian dengan salah satu bandar narkoba dibatalkan, segera dimulailah perang bisnis narkoba.  Lado, salah satu anak buah Elena menculik O membuat  Ben dan Chon melakukan apa saja demi menyelamatkan pujaan hati mereka berdua. Bagaimana akhir dari kisah ini? Pihak siapa yang akan menerima kekalahan? You’ll see the end of the stories

Walau film ini diadaptasi dari novel, tapi bagi saya teman- teman tak perlu dan harus membaca novel karangan Don Winslow ini yang secara kebetulan berjudul sama, Savages. Karena, menurut pendapat saya dengan menonton film ini saja -yang memakan waktu hampir dua jam lebih - sudah terasa melelahkan. Oke, saya memang tidak bisa memberikan komen lebih dari segi cerita, karena kembali lagi film ini berdasarkan novel. Oleh karenanya, saya pribadi lebih memperhatikan bagaimana kualitas para aktor dan aktris dalam hal membawakan peran dan karakternya masing- masing. Dari sekian artis yang turut meramaikan Savages, kemampuan akting Benecio del Toro tak diragukan lagi dan saya acungi jempol karena berhasil membawakan karakter Lado sebagai seorang musuh yang sadis tanpa ada rasa kasihan. Bagaimana dengan artis lainnya? Ya, boleh dibilang masih standar, apalagi si Salma Hayek aduh perannya nanggung, tidak baik tidak jahat. Diluar penilaian tadi, film ini mengandung konten kekerasan yang cukup diluar biasanya, terutama ada satu adegan kekerasan terhadap perempuan walau tidak sampai se-ekstrim film The Killer Inside Me (2010). Jadi, bagi yang kurang menyukai film bertema dunia narkoba terutama adanya adegan kekerasan saya sarankan tidak harus menonton film ini, tetapi bagi yang menyukai ensemble cast dalam satu film tidak ada ruginya untuk menonton Savages.       

Senin, 17 Desember 2012

The Hobbit: An Unexpected Journey

Director: Peter Jackson, 2012



17 (tujuh belas) tahun sebelum novel trilogi The Lord of The Rings (1954-1955) ditulis oleh si penulis asal Britania Raya, John Ronald Reuel Tolkien –yang kita kenal dengan nama J.R.R Tolkien- ini Beliau terlebih dahulu telah menerbitkan novel The Hobbit(1937). Tepat 47 (empat puluh tujuh) tahun kemudian sutradara kelahiran New Zealand, Peter Jackson mulai memvisualisasikan novel  trilogi The Lord of The Rings ke layar lebar  mulai dari jilid pertama hingga jilid ketiga The Fellowship of The Ring (2001), The Two Towers (2002), The Return of The King (2003). Saya masih ingat betapa hebatnya hasil visualisasi Peter Jackson dan kawan-kawannya mulai dari desain lokasi Shire, Rivendell hingga yang paling mengagumkan adalah peperangan final antara Frodo dkk melawan kekuatan jahat Sauron…it’s more than amazing for me. Kehebatan film ini layak mendapat ganjaran manis bertubi- tubi, ya selain menduduki posisi All Time Box Office, di setiap serinya selalu meraih penghargaan di ajang Academy Awards bahkan untuk The Return of The King meraih 11 Piala Oscar termasuk Best Picture 2003. Dan, di penghujung  tahun 2012 Peter Jackson merilis The Hobbit yang kali ini selain dalam versi 2D juga ada versi  3D dan HFR 3D. Oiya saya sendiri menonton film ini dalam format HFR 3D.

Layaknya sebuah novel, Bilbo Baggins pun berperilaku sama seperti J.R.R Tolkien mulai menulis kisah petualangannya dalam satu buku yang nantinya ditujukan kepada Frodo Baggins. Nun jauh di Timur sana, tinggallah para kurcaci dengan damai dan tenangnya dalam suatu kota dengan kerajaannya bernama Erebor  yang dipimpin oleh Thror. Bagaimana mereka tidak hidup dengan damai dan tenang karena sumber kekayaan sudah ada di depan mata kepalanya. Yap, tumpukan emas yang saya maksudkan disini. Tetapi, lagi- lagi yang namanya kehidupan hal baik dan buruk datang tak terduga, masa- masa kejayaan Kerajaan Erebor pun  berubah menjadi masa kegelapan. Smaug, sang naga mengambil alih kerajaan ini termasuk semua harta berharga yang selama itu dikumpulkan.  Mau tahu kisah selanjutnya? Yap,kisah dilanjutkan kembali  ke 60 (enam puluh) tahun yang lalu ketika Bilbo Baggins masih muda. Adalah Gandalf The Grey yang mengunjungi Bilbo dirumahnya. Kedatangan Gandalf tak lain adalah menawarkan ke dirinya suatu perjalanan yang diharapkan setelah akhir perjalanan ini, nantinya oleh Bilbo dapat ditulis menjadi satu buku, ya memang Gandalf mengetahui kalau Bilbo rajin menulis. Gampang ditebak, meski diawal-awal Bilbo menolak tawaran ini toh akhirnya luluh juga. Tanda tangan di Surat Perjanjian menjadi catatan perjalanan tak terduga-nya ( An Unexpected Journey) Bilbo. Satu perjalanan panjang menuju Gunung Sunyi  ( The Lonely Mountain) demi merebut kembali harta berharga dan Kerajaan Erebor dari tangan naga Smaug.

Oiya, sampai kelupaan bahwa perjalanan tak terduga ini selain ditemani Gandalf the Grey, Bilbo juga bersama 12 kurcaci ( Dwalin, Balin, Kili, Fili, Dori,Nori, Ori, Oin,Gloin, Bifur, Bofur, Bombur) yang dipimpin oleh Thorin Oakenshield.  Walau Thorin sempat meragukan kemampuan apa yang dimiliki oleh Bilbo Baggins, tetapi Gandalf meyakinkan bahwa tidak akan sia- sia membawa Bilbo bersama.  Seperti  yang sudah dikatakan Gandalf, setelah menandatangani  Bilbo harus menyadari bahwa rumahnya sudah sangat  jauh dibelakangnya sementara yang ada didepannya adalah dunia yang harus dijalani. Ternyata benar apa yang dikatakan Gandalf, banyak sekali halangan yang merintangi di depan perjalanan mereka ini. Dari kejauhan, Orc  bersama hewan tungangannya Wargs selalu mengintai setiap langkah mereka. Tetapi, sebelumnya mereka sudah berhadapan dan ditangkap oleh Trolls untuk dijadikan santapan makan malam. Selain Troll, Gandalf bertemu dengan teman sesama penyihir Radagast the Brown yang memberitahu ada sesosok makhluk jahat yang dinamakan The Necromancer.  Yap, akhirnya salah satu yang saya senangi dari dunia rekaan J.R.R Tolkien yaitu Rivendell oleh sutradara Peter Jackson kembali ditampilkan termasuk para penghuni Rivendell itu sendiri, Lord Elrond dan tentunya Lady Galadriel. Untuk kedua kalinya, saya benar- benar takjub atas visualisasi keindahan Rivendell.  Lalu, bagaimana selanjutnya perjalanan Bilbo dan kawan-kawannya ini menuju The Lonely Mountains? Apakah berhasil karena diluar sana para kawanan Orc yang dipimpin oleh Azog menyimpan dendam kesumat pada Thorin Oakenshield.  Alasan apa yang menyebabkan Azog begitu dendam pada Thorin Oakenshield yang notabene merupakan keturunan Durin, anak dari Thrain dan cucu dari Thror?.

Untuk kedua kalinya pula saya berikan acungi dua jempol buat sutradara Peter Jackson, walau dengan durasi yang cukup lama kurang lebih 2,5 jam ini plus menonton The Hobbit: An Unexpected Journey ini dengan versi HFR 3D-nya saya tidak merasakan kelelahan sama sekali karena penonton serasa dibawa seperti membaca novelnya ditambah lagi dengan yang tadi saya sebutkan betapa indah dan tajamnya visualiasi gambarnya. Memang saya akui kisah perjalanan Bilbo Baggins tidak se-seru perjalanan dari Frodo Baggins tetapi The Hobbit: An Unexpected Journey mengimbanginya dengan menyajikan banyak adegan humor dan tentunya satu adegan pamungkas yang tak kalah serunya diakhir ceritanya. Akhir kata, seperti tweet yang saya kutip dari twitter resminya @WBPicturesID: “ before one ring ruled them all,one journey started it all” disinilah penonton mengetahui  awal perkenalan Bilbo Baggins dengan one ring yang semula dipunyai Gollum dan sebagai permulaan bencana Middle Earth. Oiya, sebagai informasi bagi teman- teman yang menyukai lagu yang diawal film sempat dinyanyikan oleh kawanan Dwarves, judulnya adalah “ Song of The Lonely Mountains” dibawkan oleh Neil Finns.   


Minggu, 09 Desember 2012

Sinister


Director: Scott Derrickson, 2012



Belakangan ini saya melihat salah satu format film yang sering dibuat oleh sineas perfilman dan juga lagi digandrungi para penonton adalah found footage. Apa itu found footage? Adalah teknik pembuatan film fiksi yang dikemas seperti film dokumenter dan bertutur seakan-akan kisah nyata dimana pengambilan gambarnya dilakukan hand-held dengan sudut pengambilan subyektif .  Found Footage ini sendiri dihadirkan dalam bentuk potongan- potongan gambar yang ditinggalkan oleh tokoh yang menjadi subyek film itu sendiri. Sebagai contohnya  film yang berjudul Hannibal Holocaust(1980) yang notabene pelopor film found footage kemudian diikuti film- film berikutnya seperti The Blair Witch Project(1999)  hingga terakhir ada satu film yang cukup fenomenal yang berlanjut sampai jilid ke-4, Paranormal Activity. Ya, saya sendiri termasuk penyuka film berformat seperti ini. Terakhir saya menonton V/H/S, bagaimana ulasan ceritanya? dapat teman- teman baca di blog ini. Dan, di tahun 2012 ini ada satu nama  sutradara -yang sebelumnya pernah menyutradarai film The Exorcism of Emily Rose (2005)-,Scott Derrickson, menyutradari filmnya berjudul Sinister yang mana tak jauh- jauh inti ceritanya dari found footage. 

Sinister dibuka dengan rekaman yang  memperlihatkan satu keluarga (ayah,ibu dan 2 orang anaknya) dengan kepala tertutup kain digantung pada sebuah pohon besar yang tak jauh dari rumahnya, ya bagi saya adegan awal ini sudah cukup membuat  shock karena penonton seolah-olah menjadi saksi bagaimana proses detik demi detik kematiankeluarga ini. Sembilan bulan setelah kejadian, satu keluarga dengan jumlah anggota keluarga yang sama dengan keluarga tadi,seorang ayah (Ellison Oswalt,) ibu (Tracy Oswalt) dan kedua anaknya (Trevor dan Ashley )berpindah dari rumah mereka sebelumnya.  Untuk mendapatkan ide menulis buku tentang kejahatan kriminal yang lebih hebat dari buku yang telah ditulis sebelumnya, Ellison mengajak keluarganya untuk sementara menempati rumah pembunuhan ini . Memang dari awal baik istri dan kedua anaknya terutama Ashley kurang menyetujui rencana dan keputusan ayahnya, tapi mau dikata apa lagi jika semua dilakukan demi keluarga, ya saya melihat ada kondisi kesulitan keuangan di keluarga Oswalt. Buku yang akan ditulis oleh Ellison adalah mengulas lebih dalam tentang apa yang sebenarnya terjadi pada keluarga tersebut sebelumnya, terutama menyelidiki hilangnya seorang gadis kecil dari keluarga tersebut, Stephanie.

Sewaktu memindahkan barang- barang atau perabotan rumah tangga, Ellison menemukan satu kotak berukuran sedang yang terdapat di salah satu loteng rumah ini. Karena penasaran dibukanya kotak ini. Ternyata, didalamnya berisi 5 (lima) gulungan film lama mulai dari Pool Party tahun 1966, BBQ tahun 1979, Lawn Work tahun 1986, Sleepy Time tahun 1998 dan terakhir  Family Hanging Out tahun 2011 yang pertama kali disajikan penontion diawal kisahnya . Berbekal sebuah proyektor diputarlah gulungan film tadi satu demi satu. Gulungan film yang diberi judul Family Hanging Out dan BBQ Ellison belum menemukan petunjuk siapa pembunuhnya. Tetapi, saat menonton Pool PartyEllison sepintas melihat sosok bayangan si pembunuh yang tercermin dari dasar kolam renang. Sayang, ketika dirinya berniat memperbesar gambar wajah si pembunuh tiba-tiba gulungan film ini terbakar tanpa alasan yang masuk akal. Dari satu petujuk ini, Ellison melanjutkan kembali menonton dua gulungan film yang belum ditontonnya.  Seperti perkiraannya, di Sleepy Time menemukan petujuk baru yakni ditemukan satu simbol yang belum pernah diketahuinya tergores disalah satu dinding rumah. Yap, sepanjang film penonton akan mengikuti perjalanan Ellison mengungkap siapa pembunuh sebenarnya dan apa motifnya, belum  lagi serangkaian kejadian aneh menyerang dan menganggu keselamatan jiwa keluarganya.

Seperti yang tertulis pada poster diatas, kalau saya bilang Sinister memang mempunyai pola cerita tak jauh dari kedua film itu yakni Paranormal Activity dan Insidious. Jika di Paranormal Activity penonton seolah-olah menyaksikan sendiri pergerakan apa yang akan terjadi yang direkam dengan menggunakan kamera digital ( ya menit demi menit tertera di layar ) sedangkan di Sinister penonton seolah-olah menyaksikan apa yang terjadi tetapi kali ini dengan menggunakan kamera jadul,Super 8 lengkap dengan gulungan roll filmnya. Jika di Insidious sosok misterius melakukan caranya melalui mimpi alam bawah sadar sedangkan di Sinister sosok misterius melakukan caranya melalui blablabla ( maaf saya tidak tulis cara apakah itu karena itulah yang nantinya menjadi poin utama film Sinister) dan seingat saya ada kesamaan yang sangat jelas pada sosok misterius ini. Overall, saya kurang menyukai film Sinister. Pertama dari sisi jalan cerita, hampir separuh waktu beralur sangat lambat dan yang kedua (memang saya akui) ada beberapa adegan yang buat saya kaget tetapi balik lagi adegan ini sepertinya sudah pernah saya lihat di film horor sejenis, seperti adegan di The Exorcism malah seperti adegan di film Shutter.